15. Omongan Tetangga

3.9K 427 4
                                    

Belajar mensyukuri hidup yang sedang aku jalani saat ini, nyatanya nggak susah-susah amat, tapi juga nggak gampang. Kalau dengar omongan tetangga, katanya hidupku setelah menikah itu langsung enak. Punya suami yang baik, bertanggung jawab, sudah disediakan rumah dan kebutuhan lainnya, juga bapak mertua yang baik banget. Kebanyakan di sini, laki-laki ikut tinggal dengan keluarga istrinya, karena belum mampu bikin rumah sendiri, atau mengontrak. Tinggal di rumah orangtuanya juga nggak bisa, karena istrinya nggak mau serumah dengan mertua dan ipar yang kebanyakan suka bikin nggak nyaman.

Ya namanya rumput tetangga, pasti jauh lebih hijau dari rumput sendiri. Aku mau ngomong begitu, tapi nggak berani. Dibandingkan mereka, aku bukanlah apa-apa. Tahu sendiri bagaimana watak ibu-ibu yang selalu berkoar-koar kalau dirinya sudah banyak makan asam garam kehidupan, lalu menganggap remeh masalah orang lain dengan membanding-bandingkan masalahnya dengan masalah yang pernah dialaminya.

Kalau mau ditengok, memang aku seberuntung itu. Aku juga nggak berharap bertemu dengan orang yang selalu melirik rumputku, takutnya malah aku jadi parno sendiri.

“Halah, kamu sih mending, daripada aku...”

“Suamimu kerja, mencukupi kebutuhan rumah, sampai kebutuhanmu dari kepala sampai kaki.”

“Kamu enak, tinggal ongkang-ongkang kaki udah dapat uang.”

“Coba kerja, biar ngerasain pakai duit sendiri. Biar nanti pas suami udah nggak produktif lagi, nggak keteteran.”

Mereka mendoakan biar Prabu Hanenda bangkrut, apa bagaimana? Kok, kesannya jelek banget, ya?

Kalau aku menceritakan hal ini pada Prabu Hanenda, lelaki itu cuma bilang, “Nggak usah dimasukin ke hati. Biarin saja.”

Gampang banget dia meresponsnya, aku jadi geregetan sendiri.

Kalau boleh dan bisa, aku juga mau kerja. Walau kerja ke suami sendiri di tokonya, nggak apa-apa, kok. Masalahnya, kan, Prabu Hanenda berjanji buat memenuhi kebutuhan kami tanpa harus aku ikut campur mencari uang. Aku tinggal duduk manis di rumah, dia yang pulang kasih uang padaku.

Betulan, loh. Prabu Hanenda selalu pulang dengan membawa bahan makanan. Saat pagi, setelah pembeli agak sepi, dia mengirimi pesan padaku. Menanyakan aku mau masak apa, butuhnya apa, dan lain-lainnya. Sampainya di rumah, aku dikasih uang lagi. Kalau butuh sesuatu pas dia nggak ada, aku bisa pergi ke warung, atau buat jajan. Sebagian besar lainnya aku tabung.

Peran istri dalam rumah tangga memang begitu, kan? Mengatur keuangan yang sudah dipercayakan oleh suami, dan peran suami juga sudah dijalankan Prabu Hanenda dengan benar.

Apa salahnya? Toh suamiku ikhlas, tapi tetangga yang komentar macam-macam. Aku jadi kesal sendiri.

Semuanya bermula saat aku mulai rutin disambangi oleh kurir paket. Hampir setiap hari. Itu juga sudah izin sama Prabu Hanenda, kok, dia juga yang kasih uang buat bayar apa yang aku beli. Aku juga tipikal orang yang pelit, beli barang kalau ada promo dan selalu mengincar gratis ongkos kirim. Lumayan, kan, jadi irit.

Karena itu, tetangga jadi mulai ngomong macam-macam. Aku itu istri yang boros, bisanya cuma menghambur-hamburkan uang suami.

Padahal kalau mereka tahu, sebagian besar barang yang aku beli itu hasil diskonan, mungkin mereka iri dan minta diajari. Tapi sayang, aku keburu malas berinteraksi berlebihan dengan mereka, jadilah aku menahan dongkolku sendiri.

Tahu bakso goreng yang aku buat sudah hampir jadi, tinggal bikin saus cocolannya saja, lalu siap dihidangkan. Sayangnya, Prabu Hanenda belum waktunya pulang. Aku jadi terpaksa menunda mengambil video menggorengnya sampai lelaki itu pulang.

EnchantedWhere stories live. Discover now