Prolog

21 4 16
                                    

"Aku nggak peduli tanggapan orang lain mengenai aku. Tapi, aku cuma pengen pengakuan dari Ibu. Aku juga anak perempuan Ibu 'kan? Kenapa aku dan Lena selalu dibedakan?" Gadis muda yang duduk di depan wanita tua itu bertanya dengan wajah sendu.

"Kak Hasya apa-apaan, sih? Iri sama aku? Udah sepantasnya Kakak yang cari uang buat kita sekeluarga," ujar gadis lainnya sambil berkutat dengan ponsel barunya.

"Aku nggak pernah keberatan buat cari uang demi keluarga kita. Tapi, lama-lama aku juga capek sama sikap kalian. Lena, kamu harus bisa kurangi sikap hedon kamu. Terima keadaan kita," ujar Hasya sambil menatap lurus manik mata adiknya.

"Bu! Tuh Kak Hasya selalu aja ngomong kayak gitu!" Lena meletakkan ponselnya lalu memegang lengan ibunya-Ajeng.

"Hasya, turuti permintaan adik kamu. Kamu cari uang, kan buat dia juga. Adik kamu minta tas baru, kamu bisa kasih, 'kan?" Ajeng menatap putri sulungnya penuh harap.

Hasya menatap datar kedua orang yang duduk di depannya. Sia-sia saja ia mengutarakan perasaannya. Ia memilih bangkit meninggalkan mereka.

"Mau ke mana kamu? Kalau orang tua bicara itu dijawab!" seru Ajeng.

"Mau kerja, cari uang buat anak kesayangan Ibu," jawab Hasya dengan datar.

Hasya melangkah keluar dari rumah dengan pagar yang terbuat dari bambu yang selama ini menjadi tempatnya pulang. Rumah berpagar bambu yang merupakan hasil karya mendiang ayahnya semasa hidup.

Segini dulu ya, gimana nih sama prolognya? Adakah yang ikut terbawa perasaan?🤭 Jangan lupa komen ya semuanya ....


Rumah Hasya yang berpagar bambu

Rumah Hasya yang berpagar bambu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Titik AkhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang