1

528 36 11
                                    

"Mom!" teriak perempuan itu ketika mimpi buruk langganannya hinggap.

Dari sekian banyak hal yang membuat tidurnya terganggu, mimpi kecelakaan mobil itu adalah yang paling parah, paling membuatnya kesal, paling mengusiknya.

Pertama, karena ada banyak sekali pertanyaan yang tak bisa ia jawab; kenapa ia ada di sana? Kenapa mimpi yang sama? Meski sering ia mencoba untuk melanjutkannya, demi mengetahui kelanjutan mimpi itu, ia pasti terbangun karena rasa sakit dan panas seolah membakar habis tubuhnya. Pada akhirnya ia bangun dengan keringat mengucur deras dan membuat basah bajunya. Tanpa jawaban sama sekali.

Yang kedua, karena buatnya mimpi itu sama sekali tidak esensial. Ia selalu memanggil ibunya, tapi ia tak punya orangtua. Ia anak panti asuhan. Semua orang di sana bilang ia sudah dititipkan sejak kecil. Apa orangtuanya meninggal karena kecelakaan? Ia tak tahu, tak ada yang bisa menjawabnya. Ia tak punya bekas kecelakaan sama sekali, tubuhnya mulus. Benar-benar mimpi yang tidak esensial.

Liline menyeka keringatnya dan memandang ke luar jendela bis yang ia tumpangi.

Halotory, sebuah kota kecil yang lebih cocok disebut perkampungan bagi seorang perempuan berusia 28 tahun bernama Liline, detektif yang dipindah tugaskan pasca kematian partner kerjanya pada insiden pembunuhan misterius dari kota Merz.

Ia tidak tergesa-gesa. Sesampainya perempuan itu di terminal dengan sebuah lugage biru muda besar yang konyol—ia beranjak menjauh menuju sebuah toilet umum khusus perempuan. Liline membuka pintu dengan ujung sepatu bootnya, dan menghadapi empat sisi kamar kecil berlumut tebal yang berbau amoniak.

Segeralah mimpi buruk yang baru ia alami berganti dengan kilas balik yang lebih memuakkan, percakapannya dengan kepala unit sialan itu.

"Mengenai kasus ini Detektif Liline—tanpa mengurangi rasa hormat kami," kata lelaki berperawakan besar dan tinggi itu. Liline membuang mukanya, ia bisa menebak kemana kalimat itu akan membawanya.

...

Juga pada kalimat yang disampaikan seorang terapis yang duduk dengan tenang di depannya. Sebuah sofa tunggal berlengan dengan warna pastel yang seharusnya membuatnya rileks, "Detektif Liline, wajar jika seseorang mengalami sebuah kehilangan, namun dalam hal ini saya menyarankan agar Anda mengambil cuti dan berlibur sejenak. Hanya sementara, sampai Anda merasa lebih tenang dari pengalaman buruk yang mengambil nyawa partner kerja Anda..."

"Dia kekasih saya, kami bertunangan, kami akan menikah. Dan seseorang membunuhnya. Sekarang Anda ingin saya mengambil cuti dan liburan? Nasehat macam apa itu?" Liline segera bangun dari sana, memandang rendah pada perempuan di depannya.

"Tapi Detektif, Anda perlu berkonsentrasi pada sesuatu di masa depan. Saya sarankan Anda untuk tetap mengkonsumsi obat tersebut agar mengurangi gejala dari PTSD—" perempuan itu bicara tenang, sehingga Liline tidak merasa diberi simpati sama sekali.

Kekasihnya mati. Dan ia seorang yatim piatu. Selain marah pada kenyataan, ia tak punya satu orang pun yang dapat dijadikan pelarian. Atau seseorang yang bisa ia percaya dan dapat mengerti pada keadaan yang menimpanya.

Setelah pemakaman kekasihnya, sebuah surat pemindahan tugas ia temukan di atas meja kerjanya.

"Kota Halo?" Ia berkonfrontasi langsung pada Kepala Unit Kasus Pembunuhan.

Lelaki berperawakan besar dan tinggi, apabila disandingkan, telapak tangan Liline hanyalah separuh dari miliknya, membuka pintu untuk mengusir perempuan itu secara halus.

"Selamat siang," katanya tanpa menghiraukan protes yang disampaikan perempuan di depannya.

"Bapak tidak bisa memindahkan saya begitu saja, kasus ini belum selesai. Dan, Mika—dia tak akan bisa memaafkan saya jika—" Liline tak bisa mengontrol nafasnya. Di kepalanya, kini penuh dengan gambaran autopsi dari mayat kekasihnya.

Wings and Cloven Hooves (JENLISA) (GXG) (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang