2

776 55 3
                                    

Hari Ini Café.

"Aku butuh tiga sampai empat jam waktumu, Benih. Aku butuh tahu, beberapa hal, tidak penting buatmu tapi dapat melegakanku. Boleh?" tanya Rattan penuh kehati-hatian.

"Apa kamu sedang ulang tahun sampai aku harus memberimu hadiah?" tanya Benih dengan nada suara yang asing.

Rattan memandangi Benih dengan rasa rindu yang terpancar dari matanya. Ia lelah berdebat. Ia tidak ingin kemarahannya mengusir Benih lagi. Baginya Benih tak lebih dari sebuah rumah kartu, helaan nafas pun bisa merubuhkannya. Sehingga sulit rasanya punya kesabaran lagi untuk mulai membangunnya lembar demi lembar.

"Apa yang ingin kamu tahu lagi?" tanya Benih. Wajahnya nampak khawatir. Kadang Rattan merasa kalau Benih takut padanya, tapi sampai saat ini Rattan belumlah mengetahui alasannya.

Rattan kemudian menegapkan posisi duduknya. Pelan-pelan ia susun ide-ide itu lagi. Sejak dari rumah, sekumpulan pertanyaan sudah ia tata dalam kepalanya. Detik ini pertanyaan itu hambur lagi. Sambil menunggu Rattan, Benih mengikat rambutnya yang telah kembali panjang, sejak terakhir kali Rattan melihatnya.

"Apakah kamu bahagia?" tanya Rattan.

"Sekarang? Ya," jawab Benih cepat. Terlalu cepat sehingga membuat dada Rattan menjadi ngilu. Namun ego, tak membiarkannya mengamuk. Tidak sekarang.

"Bukan," tepis Rattan. "Saat dulu. Ketika kamu bersamaku."

Kini Benih jadi diam. Ia melirik ke luar jendela cafe bernama Hari Ini, nama yang sama dengan kota yang mereka jejaki kini. Seolah dengan cara itu jawaban akan muncul begitu saja di kaca jendela.

"Benih..." Rattan merasa resah tiap kali melihat Benih begini. Ia memanggil perempuan itu sekali lagi.

Benih yang seolah tersadar dari lamunannya menoleh pada lawan bicaranya.

"Kamu tak ingin merokok? Ini mungkin akan jadi hari yang panjang, Rattan."

***

Mereka putuskan untuk duduk di teras luar cafe itu. Tak butuh waktu lama, untuk membuat Rattan teringat kejadian-kejadian di masa lalu. Bertemu dengan Benih saja, sudah menyegarkan ingatannya. Keberadaan Benih seolah mengisi ulang memori dalam kepala Rattan. Tentang aroma tubuhnya, lekuk senyumnya yang selalu menyiratkan keraguan dan ketakutan.

"Jadi..." Benih memulai.

Rattan sengaja tak memandang langsung pada perempuan di depannya. Ia khawatir, kalau-kalau tatapannya akan menghentikan kejujuran Benih.

"Dulu aku tidak hanya menyukai kamu, Rattan. Aku mengagumimu, memujamu. Tapi sulit rasanya bagimu untuk mencintaiku seperti yang kulakukan padamu," katanya.

Rattan langsung bertanya, "Kenapa?"

"Karena kamu lebih menggemari dirimu sendiri. Kamu tidak mencintaiku."

Rattan mengerutkan alis karena tak terima. Selama ini ia pikir ia sudah sangat mencintai Benih. Ia menunggu Benih, ia bersabar, ia tidak mencari perempuan lain. Ia menyiapkan diri hanya untuk Benih.

"Kamu ingat bagaimana aku datang untuk menemuimu, setiap jam dua malam? Aku mengetuki jendela kamarmu, Rattan. Berpikir kamu akan terbangun dari mabukmu, membukakan pintu dan memelukku hingga pagi datang." Benih memejamkan matanya sebentar. Seolah kabut tebal sedang menutupnya, membawanya kembali pada malam-malam yang suram, yang sulit ia jelaskan.

"Kamu selalu minum anggur murahan itu terlalu banyak. Sehingga kamu tidak hanya merasa rileks. Kamu kecanduan. Setiap malam aku melihat botol-botol itu berserakan di depan kamar kosmu. Katamu, kalau tak minum kamu akan marah seharian. Kamu sulit mengontrol emosimu. Kamu sulit tidur, kamu pikir minum anggur bukan hal buruk, selama kamu tak terjebak perkelahian karenanya."

Hari Ini, Kita (ANDA ANUNTA) (GXG) (END)Where stories live. Discover now