7

382 50 4
                                    

Karena hal buruk tidak terjadi begitu saja tanpa sebab. Semua hal dilahirkan dari sebab. Dan nasib dimaknai karena akibat.

"Begitu katanya." Abbi mengakhiri pendapatnya soal takdir. Jari-jari kakinya menyisir pasir hitam yang basah karena ombak pasang tadi malam. Di sebelahnya Rattan mengangguk-angguk.

"Kalau aku jadi kamu, aku tidak akan bersikap setenang ini. Itu kelemahanku sejak dulu." Rattan merendahkan dirinya. "Aku pasti sudah menangis darah."

"Paling tidak, kamu akan menciptakan beberapa lirik lagu dan bisa menjualnya."

"Makan dari rasa sedih, maksudmu? Kesannya aku ini seorang masokis."

Abbi tertawa sebentar sebelum melanjutkan pembicaraannya dengan Rattan.

"Padahal kupikir kamu adalah perempuan yang penuh pertimbangan. Pertama kali aku melihatmu, kamu sedang berjongkok sambil memikirkan semesta." Abbi mengenang pertemuannya dengan Rattan pagi itu.

Rattan tertawa. "Tidak juga. Sebenarnya, aku sedang berpikir apa kepiting sekecil itu enak untuk dimakan. Dan, berapa banyak yang harus kutangkap kalau ingin membuat seporsi kepiting asam manis."

"Tak usah merendah. Aku tahu kamu adalah perempuan yang tak hanya pintar. Kamu baik. Perasaanmu halus dan hatimu tulus."

"Kamu sudah tahu kalau aku miskin juga?" tanya Rattan. Nada suaranya terdengar seperti gurauan.

"Masalah uang bisa berubah, tidak seperti jodoh. Kamu hanya tinggal duduk di pinggir jalan."

"Apa iya?"

"Ya, kamu hanya tinggal menjajakkan diri." Abbi menyelipkan humornya yang sarkas ke dalam kalimatnya, "Omong-omong, terimakasih karena sudah melepaskan perempuan yang sangat kamu cintai untuk kebahagiaan kakakku. Aku sangat menghargai niatmu." Abbi menepuk pundak Rattan. Entah kenapa perempuan di sebelahnya ini begitu menarik perhatiannya. Sejak awal.

"Ya, terimakasih sudah mengajakku jalan pagi, kamu juga memberiku kesempatan menjelaskan."

"Setelah ini, kamu akan ke mana?" tanya Abbi. Ia berhenti dan menghadapi Rattan.

Rattan menarik nafas panjang sambil menjentikkan bahunya. "Aku akan pulang. Sebenarnya, ada seorang perempuan yang sedang menungguku."

"Apa Benih tahu kalau kamu sudah memiliki pacar juga?"

"Pacar?" Rattan menghela nafas panjang. "Tidak. Dia tidak pernah tanya, dan aku tidak merasa cukup punya nyali untuk mengakui perempuan ini sebagai pacarku," sahut Rattan. "Lagi pula sudah kuceritakan kan, bagaimana aku dan Benih bisa berakhir di sini? Yang aneh malah sikapmu yang begitu pemaaf. Kamu bahkan masih bisa mengobrol denganku."

"Ini bukan pernikahanku." Abbi menjawab. "Jadi siapa perempuan yang bukan pacarmu itu, kalau aku boleh tahu?"

"Dia istri orang. Sudah menikah dua kali. Aku mengenalnya dan sempat menjalin hubungan setelah ia bercerai. Lalu kami putus, lalu dia menikah lagi. Sekarang dia sudah punya dua anak. Satu dari pernikahan yang pertama. Satu dengan yang baru. Ya, kamu bisa mengatakan kalau aku ini memang bukan orang baik-baik."

"Aku tidak menghakimimu. Aku bukan Tuhan."

"Dia membiayai hidupku."

"Carilah pekerjaan. Kamu kan masih muda."

"Aku sedang berusaha, tolong lempar koin untukku. Yang banyak."

Lalu mereka berdua tertawa. Sementara dari jauh rumah pantai milik Benih sudah nampak, dan si pemilik rumah sudah berdiri di ujung pintu. Sosok kurusnya dibingkai jendela berwarna kusam.

Hari Ini, Kita (ANDA ANUNTA) (GXG) (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang