10

562 40 2
                                    

Seorang penyanyi melantunkan madah pujian, upacara pernikahan akan segera dimulai. Semua orang telah berdiri, mereka menoleh ke kanan dan kiri, mencari-cari arah datang mempelai yang berbahagia hari ini.

Rattan sempat akan memilih duduk di pinggir, nyaris di kursi paling belakang. Agar jika ia tak kuat, ia bisa kabur dengan cepat, tanpa menarik perhatian siapa pun yang mengenalnya. Namun, Abbi tak melepaskan genggaman tangannya dari Rattan. Gadis itu sangat persuasif. Ia berhasil membujuk Rattan agar duduk di deretan keluarga mempelai.

Semua telah mengambil posisinya masing-masing, mempelai lelaki berbalik badan, menunggu Benih memasuki pelataran diantarkan orang tuanya.

"Itu kakakku. Tenang, dia tidak lebih tampan darimu." Abbi menarik lengan Rattan sehingga perempuan itu menunduk dan bisa mendengar bisikannya. Rattan pura-pura memperhatikan perkataan Abbi. Padahal ia penasaran dengan dandanan dan gaun yang dipakai oleh Benih.

Sesaat setelahnya mempelai wanita memasuki tempat pemberkatan, Rattan dapat melihat wajah Benih berubah pucat, karena melihat kehadirannya. Dengan mimik ragu Benih berusaha tetap berfokus pada acara yang terpaksa terjadi hari ini, atau memang seharusnya terjadi di sini. Rattanlah yang tak harusnya hadir. Namun bukankah restu mantan kekasih adalah yang paling penting?

Benih tampak cantik dengan terusan putih yang tampak kontras sekali dengan apa yang Rattan gunakan. Diam-diam Rattan menyalahkan Wika, karena memilihkan kemeja hitam saat pernikahan Benih. Sekarang pakaian ini membuat sosoknya makin kentara. Benih langsung menunduk setelah tahu kalau Rattan mematung di sisi kanannya. Begitupula Rattan, yang sedang terpesona dengan gaun yang Benih kenakan hari ini. Begitu berpadu dengan warna kulit Benih, begitulah jarak mereka jadi makin jauh.

Mungkin Wika bermaksud membuat Rattan sadar, bahwa ini bukanlah hari yang senang. Hari ini adalah perkabungan untuk harapan dan kerinduan Rattan. Rencananya berhasil.

Acara berlangsung lancar dan sakral. Sayup-sayup suara pendeta mengumumkan pertanyaan yang hanya boleh dilafalkan oleh kedua mempelai.

"Apakah saudara bersedia?"

Itu saja yang bisa diingat Rattan. Karena setelahnya Benih menoleh pada Rattan sebentar, kemudian mengangguk dan menjawabnya dengan pengeras suara, "Ya, saya bersedia."

***

"Ayo kita pergi dari sini." Abbi menggenggam tangan Rattan kemudian menariknya menjauhi semua orang. Setengah hati Rattan berlari, bukan salahnya jika pernikahan ini tidak berakhir dengan baik. Tapi terlambat, upacara itu telah dinyatakan selesai. Tak ada yang bisa Rattan lakukan untuk mengembalikan semua yang terjadi.

"Aku tidak bisa Abbi, bukankah seharusnya kamu bersama keluargamu sekarang? Ini bukan salahku. Kenapa aku harus ikut?" Setelah chaos yang diciptakan kakaknya pada upacara pernikahan itu, tidak sedetik pun Rattan melihat kekecewaan tampak di wajah Abbi. Apa yang akan terjadi pada Benih setelah ini? Di mana Benih? Rattan tidak ingin membayangkan kekecewaan yang dialami mantan kekasihnya itu.

"Jangan banyak bicara kamu ikut saja!" kata Abbi. "Ada yang harus kita lakukan sebelum semuanya terlambat."

Sebelum orang lain melihat kejanggalan dari gelagat Abbi, Rattan memutuskan untuk setuju dan mengikuti keinginan perempuan itu. Mereka melewati semua orang yang lebih fokus pada pergunjingan dibanding dengan adik si mempelai lelaki yang berlari keluar dengan wajah senang di hari kakaknya gagal menikah. Dan demi Tuhan siapa pun, Rattan tak tahu menahu tentang ini. Ia sama bingungnya dengan semua orang.

Abbi membuka pintu mobilnya dan mendorong Rattan masuk ke sana. Kemudian ia duduk di kursi kemudi.

"Kita akan ke mana?" tanya Rattan pada Abbi. Bersamaan dengan itu mobil mewah yang sudah dihias bunga-bunga menyalip mereka.

Hari Ini, Kita (ANDA ANUNTA) (GXG) (END)Where stories live. Discover now