27

7K 588 8
                                    

Tubuhku pulih dan demamku akhirnya sembuh setelah dua hari beristirahat. Aku akhirnya bisa kembali membuka rumah makanku. Seperti biasanya, Yuzi kembali datang untuk bekerja. Miro juga sempat datang berkunjung untuk memberikanku suplemen kesehatan agar aku tidak mudah sakit. Gerald juga datang berkunjung untuk memastikan jika aku sudah benar-benar sembuh.

"Hah, aku tidak menyangka kau bisa sampai sakit. Biasanya kau kuat," ujar Gerald dengan wajah khawatir.

"Leila juga manusia. Wajar jika ia sakit," sambar Arsen ketus dengan nada defensif. Lelaki itu ikut membantuku menyiapkan perlengkapan rumah makan karena khawatir akan kondisiku.

"Kubilang, aku hanya terkejut, bukan menyalahkan kondisinya! Jika ada yang harus kusalahkan, itu sudah pasti dirimu!" sahut Gerald tak kalah ketus.

Arsen mendengkus, tetapi tak membalas. Seakan ia menyetujui ucapan Gerald bahwa dirinya adalah penyebabku sakit. Walau tidak secara langsung, aku merasa tidak tega membuatnya menjadi bulan-bulanan Gerald.

"Tidak apa-apa, Paman. Aku baik-baik saja sekarang. Juga, Ranran sepertinya sudah bosan bermain dengan Arsen. Sekarang, ia sibuk dengan Miro. Aku bisa agak tenang," kataku sambil tersenyum.

"Sejak awal, ia memang dekat dengan Miro. Mungkin ia menyangka Miro adalah ayahnya," sahut Gerald membuat Arsen melirik tajam ke arah Miro yang diam saja sambil memangku Ranran sejak tadi.

Wajah Miro sedikit memucat. Ia menatapku meminta pertolongan. Aku memutar kepalaku, melirik ke arah Arsen yang masih memasang wajah seakan ingin membunuh lelaki itu. Kuhela napas panjang sambil menegurnya.

"Ranran menyukai Miro karena Miro sering menggendongnya tinggi-tinggi. Ia hanya anak satu tahun lebih yang tidak mengerti apa-apa."

Arsen menatapku usai aku bicara. Matanya berkilat tampak tak terima, tetapi ia tak mengatakan apa-apa. Selanjutnya, lelaki itu membuang muka dengan ekspresi masam, berhenti menatap tajam ke arah Miro. Lelaki itu memutuskan untuk turun da mengambil perlengkapanku yang lain. Miro menghela napas lega saat Arsen pergi. Sementara, Yuzi hanya bisa meringis tapi tidak mau ikut-ikutan bicara karena tidak mau memperkeruh suasana.

Aku mendekat pada Gerald sambil tersenyum samar dengan perasaan tak enak. "Paman, kau tidak seharusnya seperti itu kepada Arsen."

Lelaki itu tak menjawab. Ia hanya mengangkat bahu satu kali sambil beranjak mendekati Miro untuk menggendong Ranran. Ah, kurasa hubungan mereka membutuhkan lebih banyak waktu untuk diperbaiki. Sepanjang hari itu, aku sibuk bekerja. Arsen membantuku sampai jam makan siang, tetapi berhenti saat Ranran kembali ke balkon dengan digendong oleh Gerald. Katanya, anakku merengek ingin melihat ayahnya.

Aku merasa aneh saat Ranran memanggilnya ayah, tetapi Arsen memang ayah kandungnya. Anak itu pun sangat menyukai Arsen tanpa lelaki itu harus melakukan sesuatu yang spesial.

Malam itu, aku duduk di sofa, bersandar sambil setengah memejamkan mata. Ranran bermain dengan Arsen, tidak terlalu mempedulikanku, tapi merengek marah saat aku tidak telihat dalam jarak pandangnya. Keduanya kini berbaring di kasur untuk satu orang yang kubeli selama Arsen kembali ke Edorra. Kasur itu kuletakkan di depan sofa, sedang meja yang ada di sana kupindahkan sementara ke sisi yang kosong.

Sambil mengamati keduanya bermain, mataku tanpa sengaja melihat ke arah meja yang kuletakkan di sudut ruang tamu. Di atasnya ada vas baru dengan bunga mawar putih yang masih tampak segar. Aku mengedipkan mata. Sejak kapan ada bunga itu?

Aku beralih mengamati Arsen yang sedang mengayunkan Ranran di kakinya sambil memegang kedua tangannya agar tak jatuh. Ranran tertawa senang, sedang Arsen tampak menikmati reaksinya. Aku tersenyum tipis, menonton keduanya bermain tanpa banyak bicara sampai Ranran akhirnya mengantuk dan digendong Arsen kembali ke kamarku.

Di kamarku juga ternyata terdapat vas baru dan bunga mawar segar yang diletakkan di atas meja rias. Secara otomatis, mataku melirik ke arah Arsen yang ternyata tengah mengamatiku. Tentu saja, ia yang membelikan bunga-bunga itu. Aku hampir tidak pernah mendapat bunga saat masih bersamanya dahulu. Perasaanku terasa aneh.

"Untuk apa bunga-bunga itu?" tanyaku pelan.

Arsen tersenyum mendengar pertanyaanku, seakan ia senang dengan diriku yang langsung tahu bahwa bunga mawar putih itu berasal darinya. Manik cokelatnya menatapku lurus.

"Aku membelinya, berpikir bahwa bunga itu seperti dirimu," ujarnya halus. "Juga, kupikir kau akan senang jika aku membelinya."

Aku terdiam selama beberapa saat, mencoba meresapi perasaanku yang saling bertarung dalam dadaku. Ada yang memintaku agar mengatakan pada Arsen supaya tidak membelinya lagi karena merasa terbebani, ada juga yang menyuruhku berterima kasih karena bahagia bukan main karena bunga-bunga itu. Aku menggigit bibirku pelan, menarik napas panjang dan mengulum senyum.

"Terima kasih," bisikku pelan.

Ya, perasaan bahagia itu menang. Kukatakan, aku tak lagi mengharapkan cinta Arsen, tetapi tak bisa kupungkiri bunga-bunga yang mekar di dalam hatiku usai mendengar ucapan Arsen. Ini pertama kalinya aku merasa sungguh-sungguh diperhatikan olehnya. Selama ini, aku merasa perhatiannya hanya sekadar rasa tanggung jawab karena aku menjadi kekasihnya.

Hah, mungkin perempuan-perempuan di luar sana yang melihat tingkahku ini akan memakiku, mengataiku seorang perempuan murahan yang luluh karena mawar putih.

"Kau menyukainya?" tanya Arsen lembut.

Aku mengangguk dan tersenyum. "Cantik sekali."

"Aku akan belikan yang lain nanti," balasnya cepat, kelihatan puas dengan reaksiku.

"Terima kasih," ulangku lagi, kembali berterima kasih, tersenyum lebih lebar hingga kurasa mataku menyipit.

Arsen terdiam, menatapku yang lekat dengan tatapan melembut. Tatapannya hampir kelihatan seperti saat ia sedang menatap Ranran. Ia mengulurkan tangannya, hendak menyentuhku, tetapi tidak jadi dilakukannya. Aku terdiam, memandangi gerak-geriknya.

"Kau tidak sesenang ini saat aku memberimu berbagai perhiasan dan pakaian dulu..." bisiknya pelan.

Aku membuka mulut hendak membalas ucapannya, tetapi lidahku mendadak kelu. Tidak ada yang mau aku ucapkan, karena aku pun tak bisa memikirkan apa-apa. Dulu, aku sering menerima pemberian Arsen berupa pakaian, perhiasan, tas atau sepatu dari merk-merk mahal yang harganya luar biasa tidak masuk akal buatku yang hanya yatim piatu. Alih-alih senang, aku merasa terbebani dan kurang nyaman. Sebab saat itu, aku tahu tidak ada perasaan apa pun dalam hati Arsen saat ia membelikannya untukku.

Hal itu membuatku berpikir jika ia sekadar membelinya karena ingin membuatku tenang. Atau, dia hanya menggunakan uangnya agar aku berhenti merasa sedih atau marah padanya. Aku merasa, ia melakukan itu bukan karena cinta. Bahkan sampai saat ini pun, aku masih berpikiran sama.

Kulihat lelaki itu menyunggingkan senyum tipis. Ia menarik napas panjang sambil mengamati wajahku lama.

"Akan kupastikan kau selalu merasa senang seperti ini, Leila. Aku akan menebus semua dosa-dosaku padamu."

"Arsen..."

Lelaki itu menggeleng saat melihat gelagatku yang ingin membantahnya. "Aku ingin mengecupmu sebelum tidur, tapi aku sudah berjanji tidak akan menyentuhmu sampai kau mengizinkanku lagi."

Bibirku kembali merapat, sedang mataku menatap ekspresinya yang melembut. Sejak percakapan kami dua hari lalu, Arsen sama sekali tidak menyentuhku seujung jari pun. Seakan ia sedang menunjukkan padaku bahwa ia akan menepati janjinya, bahwa ia tidak hanya mengejar tubuhku. Namun, masih sulit bagiku untuk mempercayainya sekarang.

"Selamat malam, Sayangku. Mimpi indah," katanya lembut. "Aku mencintaimu."

Aku mencintaimu.

Aku mematung, tidak membalas ungkapan cinta Arsen. Kulihat lelaki itu kembali mengulum senyumnya dan melangkah keluar dari kamar tanpa menungguku membalas, seakan ia tahu bahwa aku masih belum akan membalas ungkapan cintanya sekarang. Aku terduduk di atas kasur, menatap pintu kamarku yang sudah ditutup oleh Arsen. Mataku beralih menatap Ranran dengan hati resah.

Aku sama sekali tidak percaya diri untuk membalas ungkapan cinta Arsen.

Fault in LoveWhere stories live. Discover now