Perihal Perasaan

108 26 2
                                    


Pertemuan ketiga yang saya harapkan akhirnya terjadi. Saya rasa perasaan saya mulai berubah. Rasa yang lebih dalam dari kekaguman. Apakah ini pantas disebut cinta?

Arzali Bimantara

Lonceng yang tergantung di atas pintu Cafe berdenting, tanda ada pembeli yang masuk. Terlihat seorang laki-laki dengan postur tubuh tinggi sekita 181 cm melangkah masuk, menuju deretan Antrean pemesanan Take away.

Wajah tampannya didukung oleh tubuh atletis membuat kaum hawa di sana terpesona. Dengan wajah datar serta aura dingin mendominasi dirinya. Manik hitam legamnya memandang lurus, alis tebalnya terangkat dengan kening menyernyit ketika melihat sosok yang tidak asing.

"Ah, maaf, saya buru-buru." Suara lembut yang tidak asing di telinganya terdengar, dan benar saja. Gadis yang menabrak seorang di depannya adalah Prillyza.

"Kamu tidak apa?" tanyanya membantu Prillyza membersihkan minuman yang mengenai lengan kanannya, dengan sapu tangan yang ia bawa.

"Tidak apa— Dokter Arzali!" Perkataan gadis itu terpotong oleh pekikannya ketika ia mendongak, melihat sosok yang membantunya. Tinggi gadis itu hanya 165 cm, membuat Arzali harus menunduk untuk bisa menatap bola mata hazel yang beberapa hari terakhir telah menggangunya.

"Halo Prillyza," sapa Arzali dengan senyum mengembang, membuat lesung pipi kirinya nampak jelas. Beberapa pengunjung wanita yang menyaksikan itu memekik. Ketampanan lelaki itu bertambah seratus kali lipat ketika tersenyum.

"Ha ... halo Dokter Arzali," balas Prillyza gugup.

"Permisi, kalian mengganggu antrean," tegur salah seorang pengunjung cafe. Segera Arzali membawa Prillyza kesalah satu meja terdekat setelah mengucap maaf, karena mereka telah menghambat antrean.

"Terima kasih, sekali lagi Anda menolong saya." Prillyza tersenyum lembut.

"Sama-sama. Saya senang, setelah seminggu berlalu akhirnya kita bertemu lagi." Arzali terus menatap Prillyza lekat. Membuat si gadis yang ditatap bergerak canggung.

"Dokter berharap, bertemu ... saya lagi?" Nada gugup sangat kentara dalam perkataan Prillyza.

"Tentu saja, saya ingin membuktikan perkataan Bunda saya. Dan sepertinya perkataan beliau mungkin benar adanya." Arzali bicara sangat gamblang. Seperti sosoknya yang tidak suka basa-basi. Ia langsung mengatakan hal yang ia rasakan.

"Bisa jadi ini sebuah kebetulan," jawab Prillyza pelan. Hanya kalimat itu yang ada dibenaknya.

"Ya, mungkin saja. Namun bisa juga ini merupakan sebuah takdir. Tinggal bagaimana kita memilih mengumpamakan pertemuan ini. Kamu boleh menganggapnya sebuah kebetulan, tapi bagi saya ini seperti jalan yang Tuhan gariskan," papar Arzali.

 Prillyza memilih diam. Dia merasa canggung duduk berdua, berhadapan seperti ini. Apalagi ia baru saja mengenal Arzali. Selain itu, topik yang dibicarakan oleh lelaki di depannya juga cukup intim menurut Prillyza. Perihal hati.

"Kamu ingat perkatan saya minggu lalu, Prillyza?" tanya Arzali. Ia mulai bosan terus diselimuti keheningan.

"Perkataan Dokter berlebihan menurut saya. Bagi saya cinta tidaklah semudah itu." Prillyza berpendapat.

"Bukankah setiap orang punya cara berbeda dalam jatuh cinta, Prillyza? Bahkan ada yang langsung cinta mati hanya karena melihat untuk pertama kalinya. Dan ini adalah pertemuan ketiga kita." Entah kenapa Arzali begitu senang menyebut nama guru cantik itu.

"Saya rasa kita terlalu jauh jika membahas soal perasaan."

"Kenapa? Karena kamu merasa kita hanya dua orang asing?" Arzali terdiam sebentar. Ia sedang bertanya pada dirinya. Kenapa harus membahas hal ini? Ia bisa menangkap gelagat kurang nyaman dari Prillyza. Tapi hatinya menyuruh dia melanjutkannya.

"Saya hanya mau jujur Prillyza. Saya bukan laki-laki yang mudah jatuh cinta. Bahkan saya menghindar dari hal seperti itu. Yang membuat saya bingung adalah getaran dalam diri saya, terasa berbeda ketika di dekatmu. Coba jelaskan itu, kamu seorang guru bukan?" paparnya.

"Saya tidak bisa menjelaskannya, yang bisa menjawab hanya diri Anda sediri," sahut Prillyza singkat. Ia kehabisan kata. Matanya memandang ke arah lain, apa pun asal jangan menatap wajah Arzali.

"Dipertemuan kedua saya memang mulai mengagumi kamu, tapi dipertemuan ketiga ini, saya rasa belum ada rasa cinta. Mungkinkah perkataan Bunda saya hanya sebuah omong kosong?" Arzali nampak terkekeh sinis, seolah meremehkan.

Entah siapa yang tengah ia cemooh. Apakah kata cinta yang ia benci sejak lama? Sebuah perasaan yang selalu ia tolak mentah-mentah untuk ada dalam dirinya.

"Saya rasa kita terlalu banyak bicara. Saya permisi." Prillyza bangkit, tapi urung melangkah karena Arzali mencekal pergelangan tangannya.

"Saya belum selesai bicara. Duduklah," pinta Arzali dengan nada tegas, lebih terdengar bagai sebuah perintah.

Prillyza kembali duduk meski ia enggan. Ia masih menganggap Arzali orang baik karena telah menolongnya.

"Jujur saya tidak punya maksud apapun. Saya hanya sedang mencoba membuktikan apa yang Bunda saya bilang. Nyatanya, saya tidak jatuh cinta pada kamu, Bu Prillyza." Arzali menarik napas, nampaknya cukup berat.

"Bisakah kamu jelaskan pada saya? Setidaknya katakan sesuatu yang bisa membantu saya. Saya kagum pada kamu, dan dipertemuan ketiga ini saya masih kagum. Saya jadi merasa bimbang dibuatnya. Apakah ini hanya sekedar kekaguman atau rasa yang lebih dalam? Walau mungkin, ini belum pantas disebut sebagai cinta."

"Bisakah kita ganti percakapan? Jika tidak biarkan saya pergi," ancam Prillyza. Ia benar-benar merasa tidak nyaman dengan pembahasan Arzali.

"Saya belum mendapat jawaban, Prillyza. Saya paling tidak suka dibuat penasaran akan suatu hal. Maka dari itu tolong jelaskanlah!" Ia masih kekeh meminta Prillyza menjawabnya.

"Saya bukan tuhan yang bisa menebak apa isi hati manusia, atau sesuatu yang dirasakan dalam hatinya. Saya bahkan tidak bisa memahami perasaan saya sendiri. Lalu bagimana saya menebak dan menjelaskan perasaan Anda?" timpalnya dengan pertanyaan pula.

Arzali nampak mengangguk singkat. Ia seolah tengah mempertimbangkan semuanya.

"Baik, kalimat pertama kamu telah menjadi jawaban. Perihal perasaan manusia hanya Allah yang tahu. Saya juga tengah kesulitan memahami yang saya rasakan. Lalu bagaimana dengan perasan kamu terhadap saya?"

"Hanya sekedar kekaguman karena Anda orang baik," balasnya cepat, Prillyza bahkan tidak melewatkan sedetik pun untuk menjawabnya.

"Jadi, saya menyimpulkan kalau kita sama-sama saling mengagumi," putus Arzali sepihak. Prillyza ingin membantah tapi perkataan Arzali lebih dulu membungkamnya. "Itu pendapat saya. Kalau kamu tidak setuju, tidak masalah."

"Terserah Dokter saja." Akhirnya Prillyza memilih mengalah.

"Kau tahu, Prillyza?" tanya Arzali.

"Apa?"

"Kamu memiliki mata hazel yang begitu indah. Saya sudah ingin memujinya sejak pertemuan pertama kita. Tapi saat itu saya begitu terburu-buru. Jadilah sekarang saya utarakan. Bola matamu begitu indah, bahkan saya sampai terpesona. Bisakah jangan alihkan pandanganmu dan biarkan saya menikmati indahnya manik hazelmu?"

Tanpa diminta wajah Prillyza memanas, pipinya memerah seperti tomat.

"Jangan memuji wanita seperti itu, wanita punya hati yang mudah terbawa perasaan," tegurnya berusaha menutupi bahwa saat ini ia tengah salah tingkah.

"Berati kamu juga termasuk, karena kamu juga seorang wanita. Apakah saat ini kamu sudah merasa jatuh hati pada saya? Hanya karena pujian sederhana itu?" Arzali semakin gencar menggoda.

"Saya permisi, assalamualaikum." Prillyza melangkah cepat. Ia tidak mau terlalu lama didekat Arzali dengan jantung yang bergemuruh. Bisa-bisa ia akan jatuh pada pesona Dokter tampan itu.

**

ALHAMDULILLAH MASUK HARI KEENAM. 

GIMANA BAB INI? 

JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAK DENGAN VOTE DAN KOMEN! 

SAMPAI JUMPA BESOK! 

ArzaliWhere stories live. Discover now