With---3: Ly-ku

59 10 30
                                    

Pagi sudah tiba. Angel seperti biasanya dia menata rambut terlebih dahulu. Sesudah rapi dengan sepatu dan seragamnya, barulah dia sarapan. Namun, saat sedang asyik dia menyisir rambut tiba-tiba mamanya berteriak, beliau bertanya apakah Angel sudah selesai berganti pakaian. Angel pun menyahut dengan jawaban “sudah”.

Usai dia sedikit berteriak menjawab sang mama, mendadak Angel terkejut. Dia ibarat kena serangan jantung pagi-pagi. Ada sosok yang berdiri di tengah pintu kamarnya yang telah terbuka.

“Brama?” ucap Angel heran. Pasalnya, cowok satu ini memang benar-benar bikin syok sekaligus cowok pertama yang berani masuk ke kamarnya selain Rayyan sang kakak.

“Kenapa? Mau ngusir? Sudah dibolehin Tante, kok,” kata Brama sebelum Angel berucap lagi. Dia pun masih dengan posisi yang sama.

“Mengapa nggak Whatsapp dahulu jika mau jemput aku?” tanya Angel melanjutkan aktivitasnya menyisir rambut.

“Salah sendiri menolak terus. Ya, sudah. Karena aku tahu jawabannya, maka dari itu aku langsung ke sini saja. Malas basa-basi dan kamu orangnya nggak suka itu, apalagi setelah pulang dari luar kota kamu tambah dingin, Ngel,” ucap Brama.

“Aku nggak mau ngerepotin kamu, Bram,” jawab Angel.

Jawaban Angel membuat Brama tersenyum lalu menghampiri Angel. Saat sudah berada di belakang kursinya, Brama mengambil alih sisir itu, kemudian mulai menyisir rambut Angel. Sang punya rambut pun menghela napas akan tingkahnya.

“Nggak ada yang repot, kok, Ngel. Ini mauku, aku senang,” kata Brama.

“Aku bisa sendiri, Bram,” sanggah Angel.

“Nggak apa, biarkan aku yang melakukannya. Aku gerai saja, ya. Aku suka rambutmu digerai dengan satu jepit dibelahan sampingnya,” balas Brama menyisir rambut Angel.

“Oke. Terima kasih, Bram. Jepitnya di atas meja,” kata Angel.

Akhirnya, setelah beberapa menit berlalu, wajah Angel sudah lengkap dengan make up tipis. Rambutnya digerai sesuai apa yang dikatakan Brama tadi. Pantulan wajah  Angel dalam cermin pun semakin cantik.

“Cantik banget kamu, Ngel. MasyAllah,” gumam Brama.

Dipuji seperti itu oleh Brama, Angel hanya tersenyum tipis.

“Buat apa cantik, Bram. Kalau cacat? Ya, itu kebanyakan orang berkata,” ucap Angel lalu menggendong tasnya dan beranjak berdiri dengan wolker untuk keluar kamar. Namun, sebelum sempat melangkan dia dicegah oleh Brama.

“Nggak boleh berkata seperti itu, Ngel. Cantik adalah kelebihanmu,” sanggah Brama. Jujur, ucapan Angel tadi membuat jantungnya berdebar. Pasalnya, kalimat tersebut pernah dia lontarkan kepada Angel. Meski sang empunya nama tidak pernah tahu.

Melihat wolkernya masih dipegang Brama. Angel mendengkus kesal.

“Aku mau sarapan, Bram, terus kita berangkat. Lepas nggak wolkernya? Aku mau keluar,” pinta Angel.

“Kamu harus kenal siapa dirimu, Ngel. Aku bantu kamu mengenal dirimu, ya?” jawab Brama.

Angel pun tersenyum sarkas mendengar hal tersebut. “Kamu mau bantu ngenalin siapa diriku? Selepas dari itu, apakah kamu sudah mengenal dirimu dengan baik, Bram?”

“Sudah. Ya, ini aku, Ngel. Cobalah percaya sama aku,” jawab Brama lalu melepas tangan kanannya di wolker Angel.

“Sulit aku percaya sama kamu, Bram,” sanggah Angel.

“Oke. Aku akan buat kamu percaya sama aku,” jawab Brama.

Perkataan Brama tidak dijawab oleh Angel. Angel melangkah mendahului Brama keluar kamar menuju ruang makan. Jujur, Brama yang belum beranjak dari tempat dia berdiri pun menghela napas. Brama bertekat bakal meluluhkan hati Angel yang sekeras batu itu. Cewek satu ini memang benar-benar bikin hatinya tak karuan. Akhirnya, Brama pun menyusul Angel ke ruang makan dan tak lupa menutup pintu kamar itu.

Angel yang tiba lebih dahulu di ruang makan, tidak mendapati sang papa di sana. Itu sudah biasa, jika habis berantem pasti pergi. Namun, lagi-lagi hatinya sesak harus melihat suasana ini.

“Jangan ditekuk mukanya, Ngel. Sudah biasa.”

“Nggak ditekuk, Ma. Sedih saja, meski bisa dihitung makan barengnya karena Papa selalu memisahkan diri dari kita. Namun, nggak gini juga. Keluarga kita utuh dari sampulnya, Ma, tetapi dalamnya nggak utuh.”

“Gih! Sarapan, Brama mana? Masih di kamarmu?”

“Brama … paling sebentar lagi menyusul.”

“Untung Brama menjemputmu, kalau nggak kamu berangkat sama siapa? Ray jam segini sudah berangkat, kasihan dia balik lagi ke sini jemput kamu. Paling ujung-ujungnya Mama,” ucap Wanti.

“Iya, lah, Ma. Siapa lagi? Terima kasih, ya, Ma,” jawab Angel.

Wanti pun tidak menyahut jawaban Angel. Beliau menyibukan diri dengar mengambilkan lauk untuk Angel. Di sisi lain, Brama yang masih di balik tembok mendengar percakapan antara anak dan mama itu. Brama tidak menyangka, apa yang dirasakannya perihal kebersamaan, malah lebih parah yang dirasakan Angel. Pantas, dia tumbuh menjadi anak yang keras, dingin dan sulit percaya dengan orang lain. Orang tua pun dingin, apalagi papanya. Beliau sama sekali tidak dekat dengan Angel, padahal anaknya dua perempuan. Canda dan tawa di sekolah saat mereka bareng atau ketika mengantarkan dan menjemput, Brama paham itu sandiwara belaka.

Ketika selesai dengan pemikirannya sendiri, Brama beranjak menghampiri dan langsung duduk di samping Angel, sedangkan Wanti yang melihat hal tersebut hanya tersenyum.

“Ayo sarapan, Bram!” perintah Wanti.

“Sudah sarapan tadi, Tante. Brama tungguin saja, ya. Tante, boleh Brama minta sesuatu?” tanya Brama.

“Apa, Bram? Kalau Tante bisa tak apa,” jawab Wanti.

“Boleh, Brama panggil Tante dengan sebutan ‘Mama’?” pinta Brama.

“Boleh, Mama malah senang. Jadi nggak canggung,” jawab Wanti.

“Terima kasih, Ma,” balas Brama.

Wanti hanya mengiakan perkataan Brama lalu setelah selesai sarapan dan membantu Angel naik ke motornya Brama, mereka berangkat ke sekolah.

****

Di perjalanan mereka pun berdiam diri. Brama akhirnya mengajak Angel mengobrol lebih dahulu dengan harapan es yang ada di diri Angel dapat pelan-pelan mencair dan tidak canggung padanya.

“Ly?” panggil Brama.

Angel tak menyahut dengan panggilan Brama, yang memanggil pun menghela napas.

“Ly. Angelika Mentari?” ulang Brama.

“Iya, Bram. Ada apa?” sahut Angel.

“Kenapa nggak nyahut aku manggil awal tadi, Ly?” tanya Brama.

“Kamu memanggiku? Namaku Angel bukan Ly,” protes Angel.

“Itu panggilanku ke kamu. Nggak boleh ada yang manggil itu selain aku,” jawab Brama lalu melingkarkan kedua tangan Angel ke perut, yang awalnya pun Angel hanya bepegang pada kedua pinggang Brama. Itu pun cuma di seragamnya. Brama juga memegang kedua punggung tangan Angel dengan tangan kananya, sedangkan yang kiri dia gunakan untuk menyetir.

“Nggak usah protes. Sekarang, bukan hanya Rayyan saja bisa kamu peluk di motor. Aku pun juga, karena aku salah satu cowok yang bisa kamu percaya, Ngel, selain Krisna sahabatmu,” ucap Brama dengan posisi yang sama.

“Kamu ingin jadi sahabatku, Bram?” tanya Angel.

“Nggak. Aku ingin menjagamu, mengenalmu, lebih dari Rayyan dan Krisna,” balas Brama.

Angel pun terdiam dengan perkataan Brama. Dia pun masih berpikir dengan banyak teka-teki di kepalanya perihal tingkah Brama yang semakin aneh padanya. Apakah, Brama sengaja menyiram rasa cintanya agar semakin tumbuh? Padahal, Angel ingin membunuhnya sebelum bertambah subur sebab Angel tahu diri dan intropeksi diri.

*****

Ketika Waktu BersamamuDonde viven las historias. Descúbrelo ahora