Time flies

10 5 3
                                    

Sejak pertemuan terakhir kali bersama kakek, beliau tidak pernah hadir kembali ke rumah dan sejujurnya tidak ada yang tahu mengapa tiba-tiba kakek bersikap seperti itu. Tetapi, yang pasti aku menganggap bahwa hal tersebut juga dikarenakan sikap dari papa yang tidak ingin menyelesaikan masalahnya bersama kakek. Disisi lain, mama juga tidak mendapat penyelesaian atas apa yang harus dia lakukan terhadap gangguan tersebut, namun nyatanya memang tidak ada lagi gangguan yang mereka dapati setelah kakek berkunjung. Nampaknya, beliau tetap melindungi kami semua dari tempatnya, terlepas dari segala sikap buruk yang dia terima dari papa, kurasa masalah mereka lebih ruimit dari yang dibayangkan, ini bukan sekedar hal yang dilihat tetapi masa lalu mereka yang tidak akan pernah berdamai.

~10 tahun kemudian~

Seiring berjalannya waktu, anak-anak Baswara kini sudah beranjak dewasa mereka semua memiliki kesibukannya masing-masing. Cakra sudah berniat untuk kuliah dan kembali ke Surabaya, Gian pun memilih untuk bekerja di Kalimantan dikarenakan dia lebih memilih untuk tetap berada dirumah. Gian lebih memilih untuk menjaga Nala karena dia merasa tidak nyaman untuk meninggalkan Nala. Tetapi, memang pada dasarnya Gian juga melakukan hal tersebut tanpa paksaan. Sebenarnya, papa dan mama sudah menasehati Gian bahwa tidak apa-apa jika dia ingin pergi ke luar daerah dan mencoba hal baru disana, tetapi Gian berkata tidak untuk meninggalkan mereka semua, meskipun ada hadirnya papa tetap saja Gian lebih nyaman jika berada dirumah.

Rencana Cakra untuk kuliah diluar belum dia utarakan pada papa dan mama, sehingga dia juga belum yakin akan diijinkan, namun dia sering menyinggung agar bisa diijinkan untuk pergi ke luar daerah. Cakra berniat untuk melanjutkan pendidikan ke Universitas Erlangga, Cakra berharap agar dia bisa mendapatkan kesempatan untuk menjadi lebih baik serta membanggakan keluarga kecilnya, Cakra juga tidak mudah untuk pergi meninggalkan mereka semua yang ada di Kalimantan, tetapi dia berharap semuanya akan berjalan dengan baik-baik  saja agar Cakra bisa nyaman untuk melakukan apa yang harus dia lanjutkan. 

Suatu pagi yang cerah, Cakra pergi ke bandara agar dia bisa kembali ke Surabaya, dan tentunya papa, mama, Gian dan Nala juga ikut mengantarkan Cakra. 

"Pa, ma, aku jalan dulu ya, hati-hati kalian disini." Ucap Cakra sambil memeluk papa dan mama.

"Iya bang, nanti kalau udah nyampe kabarin kita disini ya, ingat kuliahnya yang rajin, jangan nakal, kalau bisa nelpon sama kita setiap hari." Sambung mama sambil tersenyum. 

Sejujurnya ingin sekali mama menangis sejadi-jadinya disaat itu juga, karena dia tidak pernah ditinggalkan oleh anak-anaknya dalam waktu yang begitu lama, tetapi kali ini rasanya begitu sedih dan menyayat hati. Dalam keadaan seperti ini, tentunya Nala lebih sedih dan merasa terpukul ketika Cakra pergi, dia dekat dengan kedua kakaknya sejak kecil, mereka selalu bersama dan turut menjaga Nala dengan sebaik mungkin sehingga tidak mudah bagi Nala untuk bisa menormalisasikan keadaan yang ada.

"Dan buat kalian berdua baik-baik ya sekolahnya, nurut sama papa, mama," sambung Cakra sambil mengusap kepala adiknya. "Kalau buat Gian mah gausah diingetin ya? wkwkwk." Jelasnya sambil membuat berantakan rambut Gian. 

"Apaan dah, berantakan ni aelah, jalan ya jalan aja lu, tihati." Balasnya sambil menepis tangan Gian. 

"Abangg, aku sedih." Sahut Nala seraya memeluk Cakra.

Cakra pun membalas pelukan Nala sambil emngelus kepala adiknya tersebut, mereka berpelukan dengan begitu erat dan tanpa sadar Nala sudah bergelinang air mata pada pelukan dia dan Cakra.

"Nanti Nala sekolah yang bener ya, supaya pas abang habis kuliah Nala udah bisa lebih pinter dari sekarang." Sambung Cakra dengan senyuman.

"Abang bisa ga gausah pergi? ngapain jauh-jauh ninggalin aku?" balas Nala.

"Abang kan harus kuliah adek, nanti kamu juga bakal jalan jauh kayak abang." Sambung Cakra sambil mengelus kepala Nala.

"Nala gabakal ninggalin mama kayak abang, abang jahat ga sayang sama aku, males." Jelas Nala seraya menepis tangan Cakra.

Setelah itu, Nala pergi ke pelukan Gian dan menatap sinis ke arah Cakra tetapi tetap saja dia mewek dengan keadaan yang ada, wajar saja umur 10 tahun dan dia tetap saja mempunyai rasa butuh kepada kakak-kakaknya dan tidak rela jika mereka pergi jauh. 

"Nala, kamu gaboleh gitu sama abang, kan nanti abangnya balik lagi, gaboleh marah-marah gitu." Jawab Gian sambil mengelus kepala Nala.

"Tau ah, aku lagi mau ngambek, aku gabakal ngambek kalau nanti dibawain boneka berung sama abang." Balas Nala sambil tersenyum.

"Haha bener ya? nanti pas abang pulang bawain kamu boneka biar ga ngambek, ya??" jelas Cakra sambil tersenyum.

"Janji ya abang? kalau gitu gamarah deh." Jelasnya.

"Iya, iya, udah ya abang masuk ke dalam dulu, mau check-in dulu ya." Ucap Cakra sambil melambaikan tangan.

Mereka semua membalas lamabian tangan itu meskipun dengan tangisan, sesekali juga terlihat Cakra mengusap air matanya dan nampaknya dia juga berat untuk meninggalkan semua yang ada disini, Nala pun sudah lebih tenang dari sebelumnya dan tidak terlalu merasakan sedih atas janji yang abangnya dia akan memberikan boneka kepada Nala. Setelah terlihat pesawat Cakra terbang akhirnya mereka pulang, disaat perjalanan pulang mereka berniat untuk pergi makan diluar di tempat yang disukai oleh Nala. Sesampainya di tempat tersebut, papa dan mama langsung memesan makanan dan Nala diantar untuk duduk bersama GIan. Disaat mereka duduk, tepat di sebelah mereka saat itu ada seorang kakek yang nampaknya tidak senang melihat ada Nala dan keluarganya.

"Kak, kakeknya kenapa ya sama kita?" tanya Nala.

Dalam keheningan tiba-tiba saja dia tersadar akan pertanyaan Nala, dan Gian menoleh ke arah kakek tersebut dengan wajah yang kaget karena mengapa terlihat seperti dia memiliki masalah dengan Gian serta Nala, setelah itu dikarenakan Nala tempat duduknyaa lebih dekat dengan kakek tersebut sehingga Gian bertukaran dengan Nala. 

"Kalian ini, orang jawa ya?" tanya kakek tersebut.

Meskipun sedikit kaget atas pertanyaan kakek tersebut, dan awalnya Gian kira dia berbicara dengan orang lain, tetapi nyatanya dia berbalik ke arah Gian dan berbicara bersamanya.

"Iya kek, emangnya ada apa?" balas Gian sambil menatap kakek.

"Saya tau kalian adalah keluarga yang terlarang, buat busuk saja di daerah ini." Sambungnya dengan wajah sinis.

Gian pun reflek bangun dari kursi dan menjawab kakek tersebut, sampai-sampai keramaian tersebut berubah menjadi hening.

"MAKSUD KAKEK APA HAH?!! TAU APA KAMU?" balas Gian dengan suara lantang. 

Atas keributannya yang sedang berlangsung, papa dan mama pun langsung datang ke meja tempat mereka duduk dan menanyakan apa yang sedang terjadi, dan Nala pun pergi memeluk mama dengan seerat mungkin dikarenakan dia tidak pernah melihat Gian bisa marah dengan sebegitunya. 

"Kak, ada apa? kenapa marah-marah?" tanya mama sambil merangkul Gian.

"Gatau ni mah orang aneh, ngomong-ngomong kalau kita keluarga aneh lah apalah, memangnya dia tahu apa?" jelas Gian sambil menatap sinis ke arah kakek tersebut.

"Anda siapa? kenapa cari masalah sama saya?" sambung papa yang kini sudah berhadapan dengan kakek itu.

"Saya hanya orang biasa yang mengerti akan sikap buruk kalian." Jawab orang aneh itu.

"Buruk? kamu siapa berhak menilai orang buruk atau tidak?" ungkap papa.

"Sudahlah, susah juga bicara sama orang yang merasa dirinya paling benar." Ucapnya sambil beranjak dari kursi.

"Saya belum selesai bicara heh, heh kamu berhenti dulu." Balas papa sambil mengejar kakek tersebut.

Kakek tersebut pun menoleh dengan pelan serta langsung menjawab.

"Pergi dari sini, kalian para setan." Ucapnya sambil tersenyum menyeramkan.

Papa yang melihat hal tersebut ingin rasanya melayangkan tinju pada wajah kakek tua tersebut, namun aksinya ditahan oleh mama, katanya sudah biarkan saja orang-orang seperti itu, dan mereka lebih baik untuk fokus pada makanannya masing-masing. 

Kalih welasWhere stories live. Discover now