Aroma Inkunabula

69 24 22
                                    

Sejauh ini kehilangan adalah hal yang selalu ada dalam bab kehidupan, ketakutan untuk menuju masa depan adalah rintangan yang harus di patahkan, dan malam hari akan selalu menjadi saksi dari apa yang di rindukan. Dimulai dari kehilangan peran, teman, pasangan, keluarga, bahkan sampai kehilangan diri dari segala penyebutan.

Benar kata Virgoun. Rasa cinta bisa habis pada satu manusia, hingga tak ada lagi yang tersisa, bahkan sekalipun pada dunia seisinya. Sulit untuk membuka pada yang baru, bukan sebab mereka kurang, ataupun kriteriaku yang terlalu jauh. Namun, aku terlalu resah pada semua perasaan yang selalu gundah, riuh akan rindu pada satu nama yang sudah.

Jika kehidupan adalah people come and go, itu tidak adil. Sebab hari yang aku lewati saat ini, bisa kembali menyapa di esok harinya, lantas mengapa yang hilang tak bisa untuk kembali datang menyapa?

Jika ditanya tentang penyesalan, mungkin aku menyesal karena telah mengizinkanmu mengenalkan bagaimana cantiknya langit padaku. Karena setelah itu, setiap kali aku menatap ke atas, aku justru kembali mengingatmu. Lewat langit biru dan awan putih yang meramu tenang untuk aku nikmati sendiri, menyeduh senang untuk aku seruput di ujung hari. Tetapi hari-hariku justru hanya bergelut dengan mega karya selama tiga tahun belakangan, tentang kau, yang berani-beraninya menghadirkan rindu untuk saling berebut tempat pada langitku.

Jujur saja, setelah bertahun lamanya, aku rindu. Tak peduli kau mendengar gemerciknya, tak merasakan hangatnya atau sama sekali lewat begitu saja. Hari itu memang telah usai, meskipun belum dirimbuni warna khas senja. Hari itu usai, saat pandangan kita bertumbukan beberapa detik sesudah jam makan siang, tidak sempat bertukar senyum, sebab tepi bibirmu sibuk mengucap kata pisah mendesis pelan.

Di mana pun kau kini, aku harap kau mendengarkan rinduku dari jauh, menjadi satu-satunya yang paling bertanggung jawab atas jarak. Sebab hari itu, kau memotong waktu, menghapus kebencian pada lamanya pergantian dan ketidakpastian. Walau terkadang menyenangkan, hitung-hitung merayakan kemampuanku menyuarakan sendu, dan kemampuanmu menjadi alamat rindu.

Seperti setiap puisi yang menggenggam seseorang, membuat setiap baitnya penuh gebu, meramu majas rimbun dengan syahdu, dan menyihir penyair menjadi pecandu. Kau rumah atas segala sajak yang tak terbendung, luka perih yang merundung, puisi berderai pada kata benci, rindu, cinta, amarah, dan kau. Pulang atas segala rima pada luasnya cakrawala.

Tetaplah menjadi seorang yang menggenggam puisi-puisiku, menjadi rumah atau beranda untuk singgah, segala teduh yang terseduh, atas nyamannya sajak yang tak beranjak.

Doa-doa lama akan kembali kupelihara sebagai pengingat pada beberapa kejadian. Doa-doa lama kembali aku hidup kan, seperti cetakan usang yang tak tergantikan. Namamu tertutup rapat dalam beberapa tetes tangis dan ratap. Namamu bak aroma inkunabula, semerbak tanda kau bersemayam dalam lembar doa.

Ada begitu banyak rindu yang berserak menjadi debu, sedikit demi sedikit beranak pinak dan tak mampu kusapu. Seharusnya kau tahu, saat ini waktu seolah berbuah sesak yang tak mampu aku sajak. Di balik kata kecewa yang kuseka, kita berjarak tak terhitung jauhnya.

Apa kau ingat saat aku mengusap air matamu karena ketahuan selingkuh. Sadarkah waktu itu aku jauh lebih hancur ketimbang dirimu, dan berusaha tenang di saat melihatmu berpeluk mesra dengan lelaki itu.

Kau mungkin menangis sebab malu, tapi aku menahan sesak yang memenuhi ruangan kepala, penuh seperti asap yang tak mengerti cara pergi, lama-lama menjadi gelap, lalu pengap. Tak ada yang tersisa selain deru napas penuh amarah yang tak mampu aku tunjukan ke wajahmu.

Sebelumnya mungkin kau ialah pepohonan di musim semi, tempat paling teduh yang kuingini, agar segala lara dan nala mereda, segala duka tiada. Namun, kau datang menawarkan kembali rasa saling percaya. Katamu, kita tutup luka-luka yang sedari dulu menganga, kita benamkan rasa-rasa yang tak pernah bisa kita cerna, kita buang sampah-sampah yang bersarang di kepala, dan kita hapus kata-kata yang melukai rongga dalam dada.

Kata-katamu hampir membuatku tertawa, sebab lebih terdengar seperti ejekan ketimbang penyesalan. Mengapa tak sekalian saja kau tambahkan. Menarilah denganku, lalu kita nikmati lagu favorit kita dulu. Seperti biasa, akan aku abadikan lengkung senyum di wajahmu, akan aku tiadakan sendu di matamu, dan akan aku pastikan kau bahagia denganku.

Sial!

Bagaimana Kalau Aku Tidak Baik-baik SajaWhere stories live. Discover now