BAB 1 PEDAL SEPEDA

692 22 11
                                    

Siang berbisik kepada malam

Tak pernah bersatu namun selalu abadi

Malam dibalut purnama

Bulan lagi-lagi bercerita

Aku terjerat

Dalam asa yang menyekap sisa-sisa rasa yang pernah ada

Seisi kelas bertepuk tangan atas sajak dari seorang mahasiswa yang duduk di bangku paling belakang. Giliran yang lain mengangkat tangannya.

Hujan berirama bersama air mata

Melodinya sendu melantunkan cerita

Terselip namaku dicatatan tinta pertamamu

Bergulir halaman itu tertimbun bersama waktu

Di catatan terakhirmu tak lagi ada tentangku

Dosen yang duduk di depan kelas tersenyum seraya mengangguk-anggukan kepala. Mempersilakan mahasiswanya yang lain untuk melanjutkan giliran. Serangkai sajak senilai tambahan nilai kuis. Para mahasiswa berlomba-lomba mencari peruntungan mereka masing-masing.

Salah satu mahasiswa perempuan dengan rambut keribo lebat tanpa dikuncir mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Sekarang gilirannya. Ia harus bekerja keras karena bisik-bisik tetangga bilang nilai kuisnya dua minggu lalu dapat C. Kali ini hanya cara ini yang bisa menyelamatkannya.

Keisya Wilhena-namanya. Ia bergegas berdiri. Berdeham. Menghela pelan napasnya. Bersiap membaca hasil pemikirannya sendiri.

"Puisi karya Keisya Wilhena. Berjudul... Pedal sepeda. Bismillahirahman dirahim."

Kring kring kring ada sepeda

Puisi itu baru dibaca sepenggal, tapi anak-anak di fakultas Ilmu budaya itu justru terburu-buru menimpalinya dengan tawa. Termasuk dosen mereka.

Keisya mendengus. Akan ia ulangi sekali lagi. Gwenchana!

Kring kring kring ada sepeda

Sepedanya beroda dua

Akulah pengayuhnya

Aku tidak berhenti mengayuh bersama pedal sepeda

Seisi kelas tertawa lagi. Keisya melotot karena tak terima. Tapi baiklah, mari lanjutkan!

Aku ingin berhenti tapi tidak bisa

"Sudah-sudah, Keisya. Kamu memang harusnya berhenti. Puisimu sepertinya masih banyak membutuhkan perbaikan." dosen di depan kelas itu memperbaiki posisi duduknya. Menyengir lebar.

Bahu Keisya langsung merosot. Teman-teman segengnya--disekelilingnya ikut menatapnya prihatin.

"Besok kita bahas tentang haiku. Dengan pola suku kata 5-7-5. Perhatikan alam sekitar kita. Rasakan apa yang ada di sekitar kita." dosen itu memberi arahan. "Tapi jangan kata pakai pedal sepeda. Kalian ini aneh-aneh saja, besok jangan-jangan kalian akan gunakan karet nasi uduk untuk puisi kalian."

Seisi kelas tertawa lagi, tapi pemilik puisi 'pedal sepeda' itu masih bersunggut-sunggut di kursinya.

"Its okay, Kei. Keren kok." Pricilla akrab dipanggil Sisil--teman segengnya mengacungkan jempol.

Keisya menggerucutkan bibir. Kalau begini ceritanya, tidak ada yang benar-benar bisa menyelamatkan nilainya.

"Kalian siapkan lima syair dari para pendahulu kita. Tugasnya dikumpul dipertemuan berikutnya."

Sense Of Belonging (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang