BAB 18 PULANG BARENG ATAU NGINEP SINI?

139 13 13
                                    

Hunian apartemen milik Dipta ternyata di luar ekspetasi Keisya. Lorong pendek tadi itu ternyata mengarah ke sebuah ruangan luas yang difungsikan untuk berbagai aktivitas. Mulai dari tempat tidur yang berukuran sedang. Meja kerja, serta televisi dan area dapur yang masing-masing berdiri tanpa penyekat.

Keisya menatap takjub. Ini sungguh hunian yang selama ini ia impi-impikan. Tak perlu memakai tralis untuk memisah antar ruangan, memudahkannya melakukan segala kegiatan dalam satu waktu.

"Lu emang jiwanya orang-orang dahulu ya, Ta?" ia bertanya setelah melihat banyaknya properti berbahan dasar kayu. Mulai dari meja kerja, tempat tidur sampai properti dapur semuanya kayu.

"Maksud kamu saya jadul?" pria itu nampaknya agak tersinggung.

"Ya abis, lu lihat nih, semuanya pada pake kayu. Sampai lantai-lantainya juga pake kayu." Keisya menghentakkan kakinya. Memeriksa sekokoh apa bahan kayu yang digunakan.

"Mama saya suka ornamen kayu yang dihubungkan dengan alam. Katanya itu bisa memberikan ketenangan bagi penghuninya." Dipta menjawab sambil melepas satu per satu kancing kemeja-- ia berdiri di depan lemari.

"Oooh, pantesan banyak taneman hijau." Keisya asyik menyusuri tiap jengkal sisi ruangan yang menarik. Salah satu koleksi patung kecil di atas partisi mencolek perhatiannya. "Ini panjangan punya Almarhumah Mama lu, Ta?"

Dipta menoleh. Melihat Keisya mengusap lembut salah satu koleksi Adelia dulu.

"Iya. Itu punya Mama. Hadiah dari Papa." ia tutup kembali pintu lemari. Melangkah lagi dengan bertelanjang dada. "Saya mau mandi dulu sebentar Keisya. Kamu jangan kabur, ya."

Keisya menengok, dan seketika membelalak.

"Atsagfirullah!" pekiknya.

Dipta mengernyit dahi. "Kenapa?"

Keisya menelan ludah.

"Lu bawa gue ke sini nggak ada niat merkosa gue, kan?!" tanyanya ngeri.

Dipta tak menduga akan tuduhan sembarangan itu. "Maksud kamu?"

"Lu-" Keisya mundur dua langkah. "Gu- gue bilangin bapak gua lu, habis dah lu!"

Dipta tidak paham. Dahinya masih mengernyit dalam. Memang ia salah apa? Apakah ada dari tindakannya yang cenderung seduktif? Tidak, kan?

"Gue masih perawan, Bray! Jangan macem-macem lu sama gua!" Keisya memberi peringatan keras.

"Kamu mabuk, ya?" Dipta bertanya heran.

"Lu-" Keisya mengacung jari. "Awas lu macem-macem. Gue gorok leher lu!"

Dipta berkacak pinggang. Menatap jengah bocah ingusan yang sedang melototinya.

"Kamu itu kenapa, sih?" ia benar-benar bingung.

"Lu sengaja kan bawa gue ke sini?!" Keisya mengangkat dagunya tinggi-tinggi. Mundur percuma saja, belakangnya hanya ada tembok. "Mau jebak gue, lu? Mau-mau ngeperawanin gue lu, ya, kan?!"

Astaga... Dipta mengusap wajahnya.
Mana mungkin ia melakukan hal setidak senonoh itu.

"Lu-lu- n-ngapain sih lu bugil, hah?!" Keisya tergagap-gagap menatap perut kekar di hadapannya. Njir... bisa gitu bentukannya!

Dipta menatap arah pandang Keisya, hingga baru ia sadari alasan mengapa gadis itu nampak begitu takut padanya.

Dasar bocah!

"Pake nggak baju lu, Ta!" Keisya menunjuk ke arah perut yang termampang di depan matanya. "Dosa tahu nggak, lu? Aurot itu woy aurot! Astagfirullah!"

Bukan mengidahkan teguran itu, Dipta justru melangkah mendekat.

Sense Of Belonging (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang