BAB 26 KARTU KEMATIAN

107 14 16
                                    

Ini adalah pagi yang cerah. Di luar sana, di balik dinding kaca, langit membentang tanpa gumpalan awan. Bersih. Seperti tidak sedang di Ibu Kota. Pemandangan yang indah untuk mengawali hari. Melihat atasannya telah tiba, berjalan menunduk sambil memainkan ponsel di tangannya. Sarah bergegas berdiri dari kursi--- hendak menyambut.

"Selamat pagi, Pak Dipta..."

Pria tampan itu mengangkat wajahnya dari layar ponsel. Langkahnya terhenti. "Pagi juga, Sarah."

Sarah balas tersenyum.

"Saya mau mengabarkan kalau barusan pihak WO menghubungi saya, Pak. Katanya minta kejelasan kapan Bapak luang untuk survey gedung resepsi pernikahan. Kalau bisa mereka mau menghubungi Bapak langsung untuk pembahasan lebih lanjut."

Dipta tidak mengenakan jas pagi ini. Hanya kemeja biru muda dan dasi berwarna gelap bersimpul rapi di atas dadanya. Ini tepat pukul sembilan pagi---waktu yang tertera di jam digital ponsel. Tapi, kursi di samping Sarah masih kosong sejak kemarin. Itu hal yang cukup mengganggunya.

"Keisya belum datang, Sarah?"

"Belum, Pak."

"Dia ada ngabarin kamu?"

Sarah menggeleng. "Belum, Pak. Dari kemarin belum ada. Saya chat juga nggak terkirim."

Dipta menggaruk dahinya. Dia juga sudah menghubungi dan mengirim pesan, tapi tidak ada satu pun yang terkirim. Ke mana bocah keribo itu?

"Biasa sih itu, Pak. Saya juga waktu muda suka gitu. Kalau absen suka nggak ngasih kabar." Sarah mencoba memaklumi.

"Memang kamu sudah tua sekarang, Sarah?" Dipta menyeringai geli.

Pipi gadis lajang itu memerah.

"Saya itu... tergolong tua atau muda sih, Pak?" sedikit salah tingkah dia malah merapikan tatanan rambutnya yang tergerai rapi pagi ini. "Kata orang sih katanya muka saya itu kaya anak abg gitu lho, Pak." nyengir dia.

"Coba kamu tanya Saga, mungkin dia lebih tahu jawabannya."

Sarah langsung menggerucutkan bibirnya.

"Duh, Bapak. Itu sih udah pasti ujungnya apes deh, Pak. Pasti dia ngalor-ngidul deh, nanti saya dibilang muda, tapi muda upilnya. Terus jodoh saya Voldemort, musuhnya Harry Potter yang hidungnya nyungsep. Katanya, saya dan Voldemort bisa saling melengkapi. Upil dan hidung yang nyungsep."

Dipta tertawa--- meski ada rasa tak nyaman yang mengganjal di hati. Tentang pesannya yang belum mendapat balasan.

Terakhir gadis itu mengabari kemarin. Bilang izin ada urusan. Tapi, tidak tahu izin untuk alasan apa.

"Kamu bisa urus semua pekerjaan tanpa Keisya, Sarah?"

Sarah menatap sejenak tumpukan dokumen di meja kerjanya. Kepalanya lantas mengangguk. "Mudah-mudahan, Pak."

"Ada pekerjaan Ibu Raisa yang pending belakangan ini, kamu mintakan ke sekretarisnya. Karena ibu baru masuk lusa, untuk pekerjaannya biar saya yang kerjakan hari ini. Dan tumpukan dokumen di meja kamu." Dipta menunjuk ke arah berkas. "Tolong kamu pisahkan jadi dua, nanti jam dua siang Saga datang untuk ambil setengahnya."

Saga mau datang?

Mata Sarah langsung berbinar-binar.

"Pak Saga mau datang ke sini hari ini, Pak?!" ia berseru riang--- hampir loncat kegirangan.

"Iya," Dipta tersenyum. "Kangen ya kamu?"

"Haduh... soib saya itu, Pak!" Sarah mengepal tinju kesenangan. "Ada yang mau saya gibahin soalnya sama Pak Saga."

Sense Of Belonging (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang