19. wave to earth.

490 74 22
                                    

Di sebuah rumah sakit besar yang padat pasien, Naya gak sadarkan diri di tengah tengah IGD. Tirai ketutup di sekitarnya. Dia sendirian di sana dengan HPnya yang layarnya terus nyala karena panggilan masuk.

Penelepon itu gak berhenti telepon saat Naya gak jawab, karena masih gak sadar. Puluhan notifikasi chat melambung.

Tepat di telepon ke 25, kesadaran Naya mulai naik. Pelan-pelan dia bisa ngedenger suara langkah kaki perawat yang mondar mandir karena banyaknya pasien malam ini. Ada suara anak kecil yang nangis kejer karena harus dipasang infus.

Dinginnya ruangan ini gak membantu Naya ngerasa lebih baik. Malah, dingin ini kerasa mencekam ditambah bau alkohol medis yang kuat.

Naya buka matanya saat rasa sakit dari jarum infus mulai kerasa di tangannya. Harusnya gak senyeri ini. Naya cek dan ternyata bukan bagian yang diinfus yang sakit. Tapi bekas lebam karena kegagalan perawat pasang infus di tangan satunya.

Gak ada rasa marah. Naya cuma bisa pasrah dan sedikit bersyukur masih hidup sekarang. Atau mungkin, apa harusnya dia nyesel masih hidup?

Badan ringannya seketika kerasa berat pas dia coba duduk. Tekanan darah rendahnya bikin dia pusing untuk sekedar bangun sedikit aja. Harusnya udah lebih baik karena diinfus. Tapi karena baru bangun, dia ngerasa pusing.

"Selamat malam, Bu. Sudah bangun?" kebetulan dokter jaga malam di IGD dateng sama satu suster.

"Iya Mas. Eh, maaf, Dok," ucap Naya sambil geleng-geleng kepala. Mulutnya ngelantur gak karuan.

"Ada pusing atau mual?" tanya dokter itu selagi Naya dicek tensi dan suhu sama perawat.

"Pusing sedikit, Dok. Ngomong-ngomong ini saya di mana, ya? Kayaknya tadi saya di halte." Naya celingak celinguk nyari barangnya dia.

"Ibu saat ini ada di Siloam Hospitals. Sebelumnya Ibu pingsan di halte dan dibawa oleh warga sekitar ke sini. Apakah Ibu ada wali yang bisa dihubungi?" ucap perawat tadi.

Tas Longchamp yang Naya beli susah payah itu ternyata ada di meja samping kasurnya. Sialnya, karena pingsan tiba-tiba, tas itu kegores paving block di halte.

Naya ngerogoh tasnya dan ngambil HPnya. Layar LED itu nyala terang benderang karena ada panggilan masuk dari Jayden.

"Naya! Kamu di mana?!"

Baru kali ini Naya denger Jayden ngebentak dia sebegitunya. Campuran rasa panik dan kesel karena teleponnya gak diangkat bikin Jayden meledak.

"Rumah sakit. I have no idea actually."

"What?!"

"I passed out."

"Oh my god. Panggil perawatnya, biar aku yang ngomong. Aku jemput kamu."

"Gak usah. Nanti aku telepon ibu–"

"Kasih teleponnya ke perawat!"

Naya nyodorin HPnya ke perawat dan dokter yang ada di sana. Dokter jaga ambil alih. Dia langsung ngejelasin kondisi Naya, yang ternyata lumayan buruk, dan ngejelasin lokasi dia sekarang.

Baru lima menit duduk tegak, Naya ngerasa pusing lagi. Berbaring adalah posisi terbaik saat ini. Mungkin memang kondisinya seburuk muka dokter tadi yang sampe berkerut dahi saat ngejelasin ke Jayden.

"Ini, Bu. Tadi sudah saya jelaskan mengenai kondisi Ibu. Saat ini Ibu bisa istirahat sambil menunggu," ucap dokter dan ngembaliin HP Naya.

Naya ngangguk pelan dan nutup matanya. Kulitnya yang bahkan gak seputih susu ini jadi keliatan pucat. Dalam beberapa detik, dia udah balik tidur karena efek obat juga.

Escapism. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang