Yanuar : Sang Topeng

9 3 1
                                    

Dia terbangun di Sanggar Cakrawala pada usia 9 tahun, tanpa ingatan, dan tanpa kemampuan apapun. Sanggar itu terletak di pinggiran desa terpencil di Negeri Manunggal. Dia adalah seorang pengagum seni, dengan Semar sebagai tokoh yang memiliki arti khusus baginya. Hanya ada dua teman yang dipercayainya, yaitu Naya dan Durga.

Pada usia 11 tahun, dia mulai bermimpi buruk. Dalam mimpi itu, dia menggendong anak balita yang menangis keras, menyaksikan penikaman sadis di depan mata mereka. Mimpi itu semakin intens dari tahun ke tahun, mengganggu dan menyebabkan sakit kepala. Dia selalu bercerita pada Naya tentang keluh kesahnya, yang selalu mendengarkan dengan penuh perhatian.

Meskipun banyak yang mengira mereka pasangan, sebenarnya mereka seperti saudara. Dia memandang Naya sebagai adiknya, dengan selisih usia satu tahun membuat mereka mudah berbagi kasih sayang.

Pada usia 16 tahun, dia mendapat mimpi buruk tentang kehancuran Negeri Manunggal oleh kedatangan Arjuna Merah. Meskipun Arjuna biasanya digambarkan lemah lembut dan rupawan dalam kisah pewayangan, dalam mimpinya ia menakutkan.

Semakin dia berusaha melupakan mimpi itu, semakin menghantuinya. Sakit kepala yang intens mendorongnya untuk pergi mengembara mencari arti mimpi tersebut, namun ragu meninggalkan Naya dan sanggarnya. Untuk saat ini, Yanuar masih belum ingin menceritakan mimpi itu pada siapapun. Biarlah ia yang putuskan kapan melangkah dan mencari arti mimpinya sendiri.

Malam itu, saat dia bermeditasi untuk menenangkan pikirannya, dia merasakan kehadiran hawa asing yang ternyata adalah pengikut Asura. Meskipun tidak mengerti maksud mereka mengikutinya, dia yakin harus waspada terhadap ancaman yang mungkin ada. Sebenarnya sudah lama ia dapat merasakan hawa asing itu, namun ia tidak ingin ikut campur dalam hal apapun yang menyangkut penduduk yang menyeleweng seperti mereka.

"Yanuar? Kau sudah tidur, Nak?" suara lembut itu membuat matanya terbuka, lalu menatap pria paruh baya yang berdiri di ambang pintu.

"Belum, Abah."

Pria baruh baya yang dipanggil Abah itu adalah pemilik sanggar, namanya Abah Cakra, usianya 50 tahun, cukup sepuh namun postur tubuhnya masih seperti dibawah 40 tahun, pria itu melangkah mendekat lalu duduk di sampingnya.

"Kamu nyaman kan tinggal di sini?" tanya pria paruh baya itu, entah untuk berapa kali.

"Hampir delapan tahun, Abah. Masih saja bertanya?"

"Hanya memastikan. Abah sangat menyayangimu, begitu juga anak-anak Abah yang lain. Jika kalian merasa tidak nyaman, Abah akan berusaha memperbaiknya." ucap pria paruh baya itu.

Hati Yanuar menghangat, ia menatap pria paruh baya itu dengan tatapan kagumnya.

Abah Cakra menyulut rokok yang ia bawa, menyesapnya kemudian menatap Yanuar, "Durga bilang, besok akan ada pertunjukkan wayang orang di Alun-alun Sunyoto. Kau datang bukan?"

"Rencananya datang, Abah. Bersama Durga."

"Aku merestuimu. Pergilah, cari ilmu sebanyak-banyaknya."

"Pergilah, Le ... dan kembali dengan keadaan yang baik-baik saya."

Mata Yanuar mengerjap dua kali, kilasan itu tiba-tiba muncul, entah itu hanya imajinasinya saja, atau pesan dari seseorang di masa lalu?

"Baik, Abah."

"Bagus, Nak. Sekalian kau awasi Naya, kau tau adikmu itu, kan?"

Yanuar tertawa kecil, Naya itu cantik, posturnya seperti gadis bangsawan, tak heran, ia pasti akan mendapat banyak gangguan dari para pria sebelum ataupun sesudah pentas. Dan dari balik pintu, Naya tersenyum. rencananya meminta abah untuk memberi wejangan pada Yanuar berhasil, pria itu pasti akan senantiasa berada di dekatnya, menjaganya, dan akan terus memperhatikannya.

"Aku menyukaimu, Kang Mas, melebihi rasa suka pada saudara, andai kau sadar itu, tapi sepertinya itu tidak perlu karena kamu akan selalu menjadi milikku."

Naya sadar, rasa yang ia miliki sangatlah berlebihan, ia mulai egois. Tapi Naya menyukai itu. Rasanya, menyukai seseorang dalam diam tanpa orang itu tau, itu sangatlah mendebarkan.

Kisah Negeri Manunggal Spin-Off: Pendekar Bayangan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang