All I Can Say Is Sorry

602 32 5
                                    

Song Eunseok satu-satunya yang masih bertahan di smoking area kantor. Bukan tanpa alasan ia ada di sana pada saat kantornya menyisakan penjaga malam dan satu-dua yang apes ketiban wajib lembur. Satu, ia memang perokok kelas menengah. Sehari minimal dua belas batang tandas. Dua, sayang sekali, lidah Eunseok kebas mendadak dengan rasa lengket merekat ke langit-langit mulut. Alasan kedua terlalu rumit dan sangat pribadi. Mengemukakannya di hadapan Na Jaemin berarti pelanggaran privasi. Eunseok sendiri tidak mau mengambil risiko selama variabel berupa keruh air muka sang senior terpampang nyata di hadapannya.

"Yangyang sempat cerita padaku." Jaemin mengawasinya seperti sipir, menilai dengan cara yang tidak disukai Eunseok.

"Wonbin kelihatan sangat pucat waktu Yangyang mengantarkan kue ke tempat kalian. Yangyang bilang Wonbin sempat mengeluh sering pusing dan lemas sejak mengandung. Apa kamu tidak khawatir, Eunseok? Sekarang jam berapa? Kalau aku jadi kamu, kepikiran merokok sebelum pulang pun kurasa tidak. Barang yang ketinggalan semacam ini," Jaemin mengangkat pouch tabletnya, "persetan. Yang terpenting pulang tepat waktu, memastikan istriku aman dengan mata kepalaku sendiri."

Batang rokok yang biasa ampuh menjadi pelarian kini malfungsi. Jaemin menghakiminya telak tanpa peduli potensi pelanggaran maksim-maksim kesantunan dalam ruang pragmatik. Reputasi Eunseok sebagai suami otomatis tercederai. Pada saat krusial semacam ini seharusnya Eunseok mampu mempertahankan wajah dengan defensi-defensi rasional. Faktanya, Eunseok tidak punya landasan apa pun untuk membela diri.

Eunseok tidak bisa dan tidak ingin menyalahkan Jaemin. Kalau ada yang patut disalahkan, Eunseok imani dirinya seorang yang layak, terutama sekarang, ketika penghakiman Jaemin menyentaknya. Candu bernama rokok yang terselip di antara telunjuk dan jari tengah terhempas ke lantai seketika.

"Wonbin, bilang begitu?"

"Kamu tidak tahu?" Jaemin tidak kalah kaget. Detik berikutnya, kecewa membias dari mata sampai tarikan otot dahi.

"Maaf, Senior. Saya harus pulang sekarang."

Ia tidak punya waktu dan tidak berminat untuk menanggapi Jaemin lebih jauh. Apa pun yang terlontar dari bibirnya sekarang ia sadari tidak akan keluar dari jerat nirmanfaat. Sekarang yang terpenting adalah pulang.

Batang rokok digilasnya dengan ujung sepatu. Eunseok terburu-buru menyambar tas kerjanya. Jam keberangkatan kereta bawah tanah tercepat menempati prioritasnya sekarang.

"Song Eunseok." Suara Jaemin menghentikan langkah yuniornya ini.

"Kamu belum membuang puntung rokokmu ke tempat sampah."

Song Eunseok hampir-hampir mengesah. Umpatan atas kelalaiannya sendiri tertahan di ujung lidah.

***

Pulang.

Sebulan belakangan, verba inilah lema yang paling horor, momok nomor satu dalam kamus hidupnya. Verba inilah alasan berat langkahnya meninggalkan kantor seusai jam kerja. Eunseok terbiasa mengulur-ulur waktu, selalu merasa tidak siap menghadapi ketakutannya terhadap verba pulang. Berlama-lama merokok di smoking area kantor menjadi makanan sehari-hari, sementara lembur didefinisikannya sebagai anugerah. Apa pun yang bisa menahannya lebih lama di kantor, Eunseok mengganjarnya dengan syukur. Pukul sebelas dan dua belas mengubah jam ideal meninggalkan kantor karena Eunseok tahu, pada jam itu dia sudah pergi tidur.

Dia.

"Oh, maaf. Aku kira Kakak akan pulang larut seperti biasa. Aku belum menghangatkan makanan. Biar kuhangatkan selagi Kakak pergi mandi."

Cherry Blossoms After ErrorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang