Chapter 7: Dikepoin Bunda

577 96 24
                                    

              Ritme kaki Rangga hampir kompak menyamai langkah Mara di sebelahnya ketika menyebrangi jalan menuju stasiun

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Ritme kaki Rangga hampir kompak menyamai langkah Mara di sebelahnya ketika menyebrangi jalan menuju stasiun. Rangga memang tidak sengaja bertemu dengan Mara, tetapi pria dengan office suite rapi itu sengaja mematikan mesin mobil dan mengurungkan niatnya untuk pergi dari minimarket usai membeli rokok dan bergegas keluar dari mobil hanya untuk menemani Mara menyebrangi jalan begitu dirinya menangkap sosok Mara yang sedang menolehkan kepala ke kanan dan kiri sambil cemberut karena sejak tadi nggak ada kendaraan yang mau mengalah untuk berhenti.

Mara melebarkan kedua matanya yang sipit untuk menoleh ketika suara yang mulai familiar itu terdengar di telinganya, "Saya bantuin nyebrang ya, Mar."

Mara menepuk dadanya yang tiba-tiba berdebar melihat Rangga tersenyum. Pesona lesung pipi pria berkulit kecokelatan itu sulit diabaikan. Jadi, jangan salahkan jantung Mara yang tiba-tiba mengajak disco di saat suara lajunya kereta sudah menggema di area stasiun. Mara sudah sering mengabaikan pria yang kini malah menunggunya melalui mesin tap komuter hingga berjalan ke peron, namun kenapa kini Mara malah ingin pria itu terus mengejarnya dengan mengatakan sesuatu sebelum pergi, "Malam minggu besok bisa kita keluar makan malam bareng, Mas?" Respon Rangga tentu saja baik, super baik malah. Pria itu tertawa ringan sambil menganggukkan kepala.

Post!

Aku memublikasikan bab terbaru dengan hati mantap. Namun, nggak tahu mengapa untuk bab kali ini aku merasa berdebar-debar ketika menulisnya. I can't lie kalau tiap adegan yang kutulis Sebagian besar adalah kejadian in my real life. Adegan di mana Rangga membantuku menyebrang jalan ke stasiun adalah kejadian nyata yang dilakukan Pandji padaku, tapi enggak dengan ajakan makan malam yang diucapkan Mara ke Rangga. Aku sendiri juga nggak tahu harus berbuat apa dalam hubunganku bersama Pandji. So far we're good. Dan aku belum mengendus aroma keberengsekan Pandji. Kata Laura, kita nggak mesti harus selalu tahu seberapa berengseknya orang lain masa lalu, karena kita nggak bisa mengubahnya.

"Anak Bunda ngerjain apa sih? Serius banget gitu." Pertanyaan Bunda langsung membuat tanganku bergerak menutup cover iPad di genggaman.

"Oh, biasa lah Bunda kerjaan," jawabku ngeles. Bunda nggak tahu kalau aku nulis novel daring. Alasan kenapa aku nggak mau ngasih tahu karena nanti pasti Bunda langsung sibuk nyari seminar-seminar kepenulisan untuk menunjang hobi gabutku ini.

Bunda berdeham. "Bel, Bunda minggu depan mau business trip ke Eropa for two weeks, tapi Bunda usahain nggak selama itu, sepuluh hari lah paling mentok. Kamu nggak apa-apa Bunda tinggal sama Mbak Siti?"

Bunda bekerja sebagai konsultan bisnis di salah satu perusahaan swasta ternama di Indonesia. Bunda masih memiliki ikatan darah dengan pemilik perusahaan tempatnya bekerja. Tapi, jangan sangka Bunda bisa bekerja di sana lewat jalur ordal alias orang dalam, karena memang Bunda sekeren dan sepinter itu. Nggak sepertiku yang ngelamar kerja sana-sini supaya bisa diterima di perusahaan bonafit, tapi perusahaan lah yang mengajak Bunda untuk join. Jujur ya, aku sebagai anaknya aja suka insecure lihat Bundaku sendiri. Kadang kalau pas lagi sendirian dan ngelamun, aku mikir apa mungkin rasa insecure yang membuat Papa akhirnya ninggalin Bunda?

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 14 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Lie Like ThisWhere stories live. Discover now