Rasa cukup

19 7 1
                                    

Brug...

Aku menutup pintu dengan keras, tubuh ini bergetar hebat menahan amarah. Aku membanting semua buku komik yang ada di atas meja. Pikiranku mulai bergejolak tidak karuan. penghianatan itu membuatku prustasi.

Mataku tidak ada hentinya meneteskan air. Kedua tanganku menjambak rambut, alih alih menahan kekesalah yang sudah memuncak, tidak ada lagi orang yang aku percaya di sini.

Orang yang dekat dengankupun ternyata telah mejelma sebagai bajingan yang tidak mempunyai rasa malu.

Bangsat...

Bugh.

Kepalan tanganku melayang kearah tembok kamar. Kursi belajar yang ada di hadapan meja, telah aku banting seraya meluapkan rasa sakit yang terus menyeruak di hati terdalamku.

Brak... Brak... Brak...

Kesekian kalinya aku menggebrak meja yang telah berhamburan. Berjuta rasa sakit beum sepenuhnya bisa aku luapkan, bahkan tangan yang sudah memerahpun belum puas membayar kekecawaan.

Tidak sebentar rasanya aku berjuang mendapatkan hati gadis itu. Namun dengan mudahnya, si anjing itu malah menggantikan posisiku. tidak habis pikir rasanya, Semudah itu dia menusuk semua harapan yang sudah aku rangkai sedemikian rupa.

"Bangsat ano," seruku berteriak kesal membayangkan kejadian itu.

Hal apa lagi yang akan dia hancurkan. Kepercayaanku telah sempurna hilang saat ini, hati sudah terlanjur sakit dengan tindakannya. Aku tidak tahu, untuk kedepannya nala akan bersikap apa kepadaku. Penyesalanku atas tindakan tadi, benar benar melengkapi sisi pemikiranku malam ini.

"Kau bodoh giwang," kesekian kalinya aku berseru sembari memukul-mukul kepalaku, dengan kedua telapak tangan.

Air mata ini tidak kunjung surut. Ekpresi wajahku seperti menahan rasa sakit yang cukup serius. Rasanya semua ini melebihi rasa sakit yang melibatkan darah. Namun bedanya hanya tidak ada obat untuk bisa menyembuhkan luka ini.

Jemariku bergetar hebat menahan amarah yang tidak kunjung redam, Jantung terus berdegup cukup kencang. tidak akan ada damai untu permasalahan ini.

Tok... tok... tok...

Seketika aku menghentikan dengusanku. pintu terdengar di ketuk dari arah luar, sontak aku mulai berpikir bahwa itu adalah Ano.

Tubuhku terdiam seketika. Aku hapus semua air mata yang telah berhasil membasahi pipiku. Tidak mungkin rasanya aku menghadap orang itu dengan keadaan seperti ini.

Jangan sampai dia menertawaiku dengan tindakan yang akan di anggap lemah olehnya.

"Mas giwang, Assalamualaikum."

Dugaanku salah, itu bukan suara dari si penghianat. Melainlan dari Pak Harto pemilik kosan. Entah makasud apa dia menghampiri kamarku. jarang rasanya kedatangan pak Harto ke kamarku selain menagih uang sewa kos. Tapi jika di pikir lagi, sewa kos bulan ini sudah aku bayar dari kemarin-kemarin.

Serentak aku membenahkan baju dan rambutku yang terlihat acak acakan. Dengan cepat aku menghampiri pintu dan membukanya.

"Waalaikumsalam," lirihku sempurna membuka lubang pintu.

Degh...

Lagi-lagi jantung ini menerima gertakan yang cukup hebat. Selain pak harto dengan sarung kotak-kotaknya, aku melihat Nala yang berdiri persis di belakang pak harto, seraya menunduk tidak berani menatapku.

"iya, ada keperluan apa pak?" ujarku kembali fokus memerhatikan wajah pak harto yang sepertinya sangat serius.

"Maaf mas, mengganggu waktunya. Ini teman emas tadi datang ke rumah saya, untuk mencari kamar mas Giwang." Jawab pak harto dengan wajah sedikit khawatir. "Dia bilang, Mas ano tadi kecelakaan, saat menyebrangi jalan." Lanjutnya sontak membuatku terkejut.

langkah si anak pecundang (Selesai)Where stories live. Discover now