Sayap telah patah

23 7 1
                                    

     Jalanan senggang berhasil membawaku Cepat untuk sampai. Saat ini jam sudah menunjukan pukul 08.20. tanpa berlama lama, aku angsung berlari menjauh dari bis untuk menaiki ojek pangkalan yang ada di sekitar terminal.

     Rasanya, perih di mataku akibat kurang tidur mendadak hilang. Keresahan telah berhasil mengalihkan semuanya. Di sepanjang tujuh jam perjalanan, aku terus memaksa pemikiranku untuk positif. Benakku terus bergumam, bahwa Tidak akan terjadi apa-apa setelah aku di rumah.

***

     Namun Setelah aku sampai persis di hadapan rumah. Serentak aku mematung ketika mata sempurna menatap orang-orang yang sedang mengerumuni teras rumah. saat ini, rumah sederhanaku di hiasi bendera kuning di setiap penjurunya.

     Sontak hal ini membuat Waktu terasa sempurna berhenti bersama riuhnya pilu. Lemas rasanya meratap kenyataan yang saat ini terjadi.

     Tidak ada sedikitpun pergerakan dari tubuhku. kecuali anak rambut yang tersapu angin, degup jantung yang semakin meninju dinding, dan pelupuk mata yang berhasil meneteskan segenap rasa perih atas murkanya semesta kepadaku. Aku tidak pernah menyangka dengan semua ini.

     Sayap telah sempurna patah. Peyanggah telah sempurna rubuh, laksana cahaya telah redup di kala matahari tengah beredar di atas kepala.

     Tangisan sanak saudara, aku dengar dengan sangat histeris. Aku kembali mengingat mas nadif yang saat itu berbicara perihal bapak yang tidak baik-baik saja.

     Serentak aku langsung memaksa kaki untuk berlari menembus keramaian orang-orang yang saat ini sedang riuh di halaman rumah.

     Bapak…

     Seru kencangku seraya melangkahkan kaki yang kini sudah terasa hampa, menuju lubang pintu.

     Doaku di spanjang jalan, ternyata hanyalah usapan dada yang tuhan berikan kepadaku. Kata tidak baik-baik saja menjadi pertanyaan besar yang pada akhirnya tertuntaskan dengan kepergian.

     Apakah benar, apakah benar semesta telah meruntuhkan salah satu peyanggah hidupku. Segenap perasaan kelam, seutas penggaambaran luka telah tenggelam. Kini aku meringkuk menyelimuti kalbu yang terasa sangat perih.

     Semua orang enggan menahan langkahku. Tatapan mereka seolah melempar rasa iba sekaligus penguat yang tidak lagi bisa aku terima. Rasa kuat saat ini telah rubuh, manusia yang aku jadiakan motivasi besar, telah meninggalkan aku untuk selamanya.

     Air mataku pecah setelah mendapatkan pemandangan bapak yang sudah tertutup kain batik.  Ibu yang terduduk kaku menatapku sendu, dan sedangkan paman dan bibiku menahan tubuku yang sudah tragis menyebut berulang memanggil bapak.

     Pa

     Pa

    Bapak…

    “Giwang datang pak, Giwang datang,” histerisku memberontak saat persis sepuluh senti di hadapam bapak yang sudah tidak lagi bernyawa.

     Tanganku menepis semua orang yang berusaha menghadangku. Namun Paman dan tetangga lainnya terus menghadang dan melarangkku untuk bisa memeluk bapak, yang saat ini sedang terbaring lemas di balik kain batik.

     “Lepaskan aku pak dhe, lepaskan aku,” seru histerisku bergetar sembari masih berusaha melepaskan dekapan paman. “Pak dhe, giwang mau peluk bapak, izinkan giwang pak dhe,” lanjutku dengan bibir bergetar memohon kepada semua orang.

      “Tidak bisa giwang, bapakmu sudah di mandikan.” Lirih pamanku, terus menahan tubuh yang sedang berusaha menggapai bapak.

     Suaraku sudah terdengar parau, semua orang menghiraukan seruan yang aku keluarkan. “Kenapa pak dhe. Kenapa…”

langkah si anak pecundang (Selesai)Where stories live. Discover now