3. Two Hearts in One Home

1.7K 231 16
                                    

Entah mantra apa yang tak sengaja Dewa rapalkan di dalam kalimatnya kala sedang memberi Libby sedikit pelajaran pada siang tadi, sampai-sampai istrinya bertingkah cukup aneh. Selepas pembicaraan yang berhasil menyebabkan tangis tersedu Libby pecah, gadis itu tak membiarkan mereka berjauhan barang sedetik pun. Ke mana kakinya melangkah, Dewa diikuti bak induk bebek.

Oleh sebabnya, begitu mereka tiba di apartemen selepas melewati penerbangan hampir dua jam, dari Bandara I Gusti Ngurah Rai menuju Bandara Soekarno-Hatta, Dewa memilih meninggalkan kamarnya untuk beristirahat di kamar Libby, menyetujui penawaran yang diberikan padanya. Melihat bagaimana gadis itu seperti tak berani menjauh darinya, Dewa jadi sangsi untuk membiarkan sang istri tidur sendiri.

Sebelum menikah, Libby memang meminta disediakan kamar sendiri. Dewa pribadi tidak mempermasalahkan hal tersebut karena alasan gadis itu yang menyatakan rasa khawatir, belum terbiasa tidur di satu ruangan yang sama dengan orang lain. Namun, lihatlah, belum ada sehari Libby pindah ke apartemennya, Dewa langsung ditawarkan untuk beristirahat di kamar perempuan itu.

Karena tak ingin mengambil pusing berurusan dengan Libby yang tengah manja, Dewa akhirnya menurut saja. Keputusan tersebut berhasil menghindarinya dari rasa pusing, namun justru mendatangkan sakit kepala tak terduga. Kemurkaan lelaki itu bagai api yang disirami minyak, berkobar panas siap membakar karena tingkah menjengkelkan Libby yang telah sukses menjadi pemantik.

"Tidur di kamar masing-masing aja, lah. Kamu kayaknya keberatan kalau Abang di sini." Tanpa menunggu respons Libby, Dewa sudah berjalan meninggalkan kamar gadis itu menuju kamarnya sendiri.

"Abang, ini selimutnya kan lebar. Tapi, kenapa Libby masih nggak kebagian?"

"Lampu tidurnya dinyalakan saja, Abang. Jangan terlalu gelap, nanti enggak bisa tidur."

"Loh, Abang? Kenapa Libby ditarik-tarik seperti kucing-Ih, Libby maunya tidur di ujung, Abang! Kenapa dipaksa-paksa pindah ke tengah!"

Itulah kiranya komplain-komplain yang sibuk dilempar Libby hingga mengganggu acara tidurnya. Gerutuan tersebut menyebabkan denyutan pada kepala Dewa, ia tak tahan. Masalahnya, lelaki tersebut masih memerlukan sedikit istirahat guna memulihkan tenaganya yang belum kembali dengan utuh.

Di luar kamar, berbeda dengan Dewa yang telah terpejam berupaya rileks, Libby berdiri linglung di depan pintu kamar suaminya yang menurut gadis itu tengah merajuk. Menimbang-nimbang, batinnya kini berperang mencoba memilih opsi terbaik apa yang aman untuk direalisasikan; Perlukah ia masuk, meminta maaf, dan membujuk sekarang atau menunggu hingga esok hari.

But, the sooner the better, no?

Benar. Lebih cepat, lebih baik. Maka dari itu, dengan memercayai kata hatinya, Libby telah bergerak mendorong pelan pintu kamar Dewa yang langsung menampilkan figur lelaki itu, terlelap dengan napas teratur. Langkahnya begitu pelan dan berhati-hati, berusaha tidak menciptakan suara sedikit pun ketika menghampiri tempat tidur.

"Abang.." Libby berucap lirih, rautnya berubah muram. Ia kini tengah berjongkok di sisi ranjang Dewa, meneliti wajah berpahat tegas yang dipenuhi gurat kelelahan. Bahkan lampu kamar pun lupa dipadamkan, padahal lelaki tersebut sulit terpejam jika berada di ruangan yang terang-benderang. Perasaan bersalah dan tak tega sontak menyergap gadis itu, seolah tengah dikepung legiun*. "I'm sorry for bothering you."

"Huh?" Perlahan, kedua mata Dewa terbuka. Napas lelaki itu terdengar memberat begitu menemui si 'makhluk kecil pengganggu' sudah berjongkok manis di samping ranjang. "Ngapain?" Dewa tak tahan untuk berbicara dengan penuh jengkel.

Gelengan lemah Libby menjadi tanggapan pertama. "Libby bukan mau gangguin Abang."

"Secara teknis, kamu ini sekarang lagi ganggu Abang."

A Sip of Her Pink DrinkWhere stories live. Discover now