11. Neither Behind, nor Beside

1K 164 19
                                    

Selepas berpisah di lobby, Carolina lantas melanjutkan langkahnya menuju mall yang tersambung secara langsung dengan hotel berbintang lima, tempat salah seorang kerabatnya bermalam, yang baru saja ia sambangi. She needed some caffeine. Oleh karenanya, wanita dua anak tersebut dengan tenang menyusuri pusat perbelanjaan yang terlihat cukup lenggang.

"Carolina?"

Sapaan itu berhasil menghentikan langkahnya. Carolina menahan napas sejenak sebelum kemudian membalikkan badan secara perlahan. Tak ada seulas senyum yang tampil sewaktu ia akhirnya bertukar pandang dengan si pemanggil. Sebaliknya, wajah tanpa ekspresi menjadi satu-satunya reaksi yang diberi Carolina.

"Kok sendiri aja, sih? Lagi me time, ya, kamu?"

Singkat, Carolina menggeleng, "Saya habis dari Grand Hyatt."

"Ah... Aku pikir kamu mau me time—I mean, I know it must be hard to be a part of Rafauri, kamu pasti butuh waktu buat refreshing." Astrid, lawan bicaranya, memandang penuh simpati.

No one needs that sympathy.

Oleh karenanya, Carolina memilih bungkam. Untuk beberapa pengecualian, ia tidak suka berbasa-basi. Terlebih lagi, sewaktu harus dihadapkan dengan sosok tertentu yang mengganggunya. Biarlah orang lain menyematinya sebagai pribadi yang angkuh, ia hanya ingin menjalani hari dengan tenang.

Biar begitu, keterdiaman Carolina sama sekali tidak menyinggung Astrid. Wanita tersebut justru menerbitkan senyum cerah, kemudian kembali membuka suara, "Ngomong-ngomong, selamat, ya, untuk pernikahan si bungsu. You know, everyone expected Dewa would end up with Raline. But, that's how fate works, right?'

"No," sanggah Carolina cepat, lalu mengeluarkan tawa kecil yang terdengar sumbang. "They're all just stupid if you ask me."

Bukan hanya bodoh, namun terlampau bodoh.

Jalan sudah terbuka lebar, akan tetapi Raline saja yang bodoh karena tidak mencurahkan segenggam usaha lebih keras untuk menempati salah satu posisi menantu dalam keluarga Giguère. Pun demikian dengan Dewa, betapa bodohnya menjatuhkan pilihan kepada seseorang yang, dilihat dari segi mana pun, tidak cukup pantas untuk dijadikan pendamping. Biar bagaimana juga, titik terbodoh dari segala hal yang terjadi ada pada putri bungsunya, Libby. Entah keberanian macam apa yang dimiliki anak itu sehingga dengan tidak tahu diri berani merusak segala rencana yang telah ia susun matang-matang.

Demi apa pun, Carolina berani bersumpah bahwa segala hal yang telah ia rancang sungguhlah dimaksudkan untuk kebaikan kedua putrinya. Akan tetapi, Libby memang tidak pernah berubah. Sejak kecil, anak itu terang-terangan menunjukkan perlawanan.

"Why would you say that, Carolina? They are your daughters, after all." Kedua mata Astrid memancarkan sorot tak terbaca yang entah mengapa semakin memantik darah Carolina naik hingga mendidih. "Anyway, I have an appointment with my SA* at Hermès."

Andai saja lawan bicaranya bukan Astrid, Carolina akan senang sekali untuk saling berbagi wishlist satu sama lain. Masalahnya, melihat wajah wanita itu saja ia muak.

Bukan. Itu bukan perasaan iri. Meski hidup Astrid bak dongeng sempurna; terlahir sebagai anak dari pejabat tinggi negara yang memimpin Kejaksaan Agung—sebelum kemudian menempati posisi wakil presiden di awal tahun 2000-an, menjadi salah satu pendiri perguruan tinggi swasta ternama yang berfokus pada studi hukum, bahkan juga memiliki jalinan baik dengan banyak figur terpandang, terutama keluarga Rafauri dan Giguère, Carolina tetap tidak menyimpan rasa iri sedikit pun.

"Then, please, excuse me." Kaki Carolina yang hendak melangkah setelah berkata demikian kontan terhenti ketika sebuah suara familiar tiba-tiba terdengar dari balik punggungnya, menyerukan nama Astrid.

A Sip of Her Pink DrinkWhere stories live. Discover now