Pertanyaan dadakan

591 105 8
                                    

👩‍🎓👨‍🎓
_____

"Udah, jangan nangis lagi," pinta Zano lembut saat mengajak Rere duduk di warung kecil dekat sana. Rere masih sesenggukkan dengan kepala tertunduk. Zano mengusap kepala Rere pelan. "Kita ajak Ibu itu ke dokter, ya. Aku bilang juga sama Ibu itu." Rere mengangguk. Ia mengatur napasnya yang masih terasa sesak.

Zano meraih ponsel di sling bag yang ia pakai, menghubungi Dipa.
"Halo, Pa, apa bisa mobil masuk ke daerah sini. Tadi Mas Zano lewatnya gang sempit." Zano menatap ke jalan raya di depannya.

"Bisa satu mobil kalau pas di depan mau masuk ke perkampungannya. Papa di mana? Mama tau nggak?" Zano masih mengamati lalu lalang kendaraan yang lewat. "Oh, yaudah, Mas Zano tunggu kalau gitu, nggak lama, kan, Pa?" Melirik ke Rere yang memperhatikannya. "Ok, Mas Zano sama Rere di sini." Ponsel kembali dimasukkan ke saku celana.

"Gimana?" cicit Rere lantas menghapus air matanya dengan tangan.

"Papa lagi di klinik nggak jauh dari sini, minta dokter sama perawat periksa Budenya Icha. Jadi nggak perlu dibawa ke sana."

Rere lega. Kemudian ia melihat ada warung nasi, ia ingat Icha juga bude belum makan dari pagi. Rere berjalan ke arah sana, membeli dua nasi bungkus untuk Icha dan budenya.

Zano yang membayar padahal Rere sudah menyiapkan uang. Mereka berjalan kembali ke dalam area tempat tinggal bude juga Icha.

Para pemulung yang sibuk datang dan pergi, tampak tak peduli dengan kehadiran Zano dan Rere. Sungguh ironi, apa mereka tidak tau jika ada tetangga yang sakit dan belum makan?

Rere mengetuk pintu, Icha membuka dari dalam. Anak itu sedang memakai seragam SD yang tadi diberikan di dalam bingkisan.

"Bude, saya ke sini bawa makanan. Makan dulu, ya, Icha juga makan. Udah siang," lirih Rere.

"Mbak, ngerepotin kan jadinya," lirih bude haru.

"Sama sekali enggak. Ayo, Bude, saya bantu duduk." Rere merangkul bahu bude untuk duduk, wanita itu meringis karena kepalanya terasa beras.

Zano mengintip ke dalam rumah tak layak itu. "Icha, ruangan lain nggak ada?" bisik Zano.

"Nggak, Kak. Cuma ruang ini sama belakang dapur kecil. Kalau kamar mandi numpang di mushola itu," tunjuk Icha. Luas rumah itu tak sebanding dengan garasi rumah yang ditinggali Zano, bisa muat tiga mobil dan empat motor. Zano sedih juga, pantas Rere menangis pilu.

Rere menyuapi bude, sementara Icha makan sendiri dengan lahap. Lauk ayam goreng dan telur dadar jadi pilihan Rere tadi.

Bude makan hanya empat sendok, kepalanya sangat sakit katanya. Tak lama motor berhenti di depan rumah itu. Zano keluar. Dokter dan perawat pria menyapa. Zano berjabat tangan dengan keduanya lantas mengajak masuk.

"Selamat siang, Ibu," sapa dokter pria yang ramah. "Sudah berapa lama sakitnya, apa yang dirasa?" Ia langsung memakai stetoskop yang diberikan perawat, Rere membungkus nasi yang belum habis dimakan bude. Ia letakkan di meja kecil dekat tempat tidur kecil itu.

Setelah diperiksa, bude hanya kelelahan dan kurang makan. Kerja sangat keras tapi asupan minim. Oksigen dalam darah menuju ke otak terlalu kental, itu yang membuat bude pusing.

Syukurlah, Rere lega mendengarnya. Icha selesai makan, ia teguk air putih dari teko plastik yang sudah lusuh.

Obat diberikan, juga dokter akan bicara kepengurus RT, untuk mendata berapa orang yang tinggal di lingkungan itu untuk dilakukan pemeriksaan kesehatan sebagai program dari kelurahan setempat.

Zano ada ide, jika kegiatan klub peduli sesama, akan masukkan kampung pemulung itu ke list penerima bantuan.

Dokter dan perawat pergi, Rere dan Zano masih di sana. Rere membantu bude minum obat lalu kembali merebahkan diri.

"Bude, saya izin ajak Icha keluar sebentar boleh?"

"Mau ke mana?" lirih bude malu.

"Ke depan, sebentar aja,ya." Rere mengulurkan tangan menggandeng Icha. Zano juga pamit. Mereka bertiga berjalan menyusuri gang sempit tadi hingga tiba di jalan utama.

"Icha, mau jajan apa? Beli yang Icha mau, ya. Buat besok bawa bekal ke sekolah," ajak Rere masuk ke minimarket. Zano masih berjalan di belakang Rere. Icha menggelengkan kepala, menolak masuk ke sana.

"Kenapa? Ada Kak Rere, tenang aja." Rere berjalan ke dalam, mengambil keranjang belanja warna biru. "Icha mau apa, ayo pilih jangan malu." Senyum Rere membuat Icha tak ragu. Ia menuju ke rak mie instan, diambilnya lima. Rere protes, ia ambil lagi sepuluh.

Lanjut beli lainnya. Roti tawar, selai coklat, keju, mentega, aneka camilan, susu kotak tiga pack, hingga lanjut ambil keranjang tambahan.

Rere juga membeli sabun cuci, pewangi pakaian dan sebagainya. Zano hanya mengekor, ia tak mau ikut campur.

Tiba membayar, Rere memberikan kartu debetnya, total belanja tujuh ratus ribu. Icha tampak sumringah hal itu membuat Rere puas batinnya.

Tiga tas belanja ukuran besar dibawa Rere dan Zano, sekembalinya ke rumah itu, bude hanya bisa menangis karena bantuan yang didapat. Rere berkata jika bude tidak boleh bekerja memulung sampai sehat betul.

Zano berkeliling kampung pemulung, bicara mendengar keluhan mereka yang seolah diabaikan pemerintah. Zano menjelaskan jika nanti akan ada pemeriksaan kesehatan gratis dan pendataan semua warga di sana.

Ia berkata jika akan memberikan batuan sesuai yang dibutuhkan. Rere dan Zano pamit pulang, tak lupa Rere memberikan sejumlah uang untuk pegangan bude. Air mata bude tak terbendung. Ia hanya punya Icha, keponakan yang akan ia asuh hingga dewasa. Bude sendiri ditinggal pergi suaminya yang menikah lagi karena bude tidak bisa punya anak.

Zano membonceng Rere, mereka diam selama perjalan hingga tiba di rumah eyang. Setelahnya duduk di teras dengan saling bertatapan.

"Bahagia?" pungkas Zano. Rere tersenyum.

"Kak Zano?"

"Miris. Mereka kayak diabaikan."

"Iya. Aku juga mikir begitu. Kok bisa ya, ya ampun."

Rere mengusap pelipisnya. Rumah terasa sepi, eyang kakung dan uti pergi berkunjung ke rumah kakak dari mamanya Rere.

"Mbak Rere, makan siang dulu, ajak Mas Zano juga, mari, Mas. Masuk, makan dulu," tukas bibi.

Rere mengangguk. "Ayo, Kak. Udah jam satu juga." Rere beranjak, Zano hanya tersenyum tipis lantas mengikuti ke dalam, menuju ruang makan.

Masakan rumahan, sama seperti yang biasa Dipa masak untuk keluarganya. Tak ada rasa canggung dari Zano, hanya memang ia begitu tenang menyantap makanannya.

Lain hal dengan Rere yang dagdigdugser, jantungnya bertalu-talu. Bahkan ia makan begitu sedikit tak seperti porsi biasanya.

"Kak Zano deket banget sama Tante Letta, ya?" Rere memecahkan keheningan diantara mereka.

"Iya. Semenjak ada Ibu, Papa nggak laku. Kita semua anak-anaknya apa-apa bilang ke Ibu, cari Ibu."

"Ish! Nggak boleh gitu. Harus adil, dong. Terus kalau di rumah sering makan sama-sama, ya?" lanjut Rere yang sudah menguncir cepol rambutnya karena saat makan supaya tidak mengganggu.

"Setiap hari. Kecuali makan siang karena semua di luar rumah." Zano menatap lekat. "Kenapa?"

Rere menggelengkan kepala. Ia meneguk air putih sambil menatap ke arah lain.

"Re. Kamu suka ya, sama aku?"

Kedua mata Rere melotot. Ia diam, mendadak sesak napas karena jantungnya berpacu cepat.

Mati, gue. batin Rere. Gimana ini! lanjutnya masih membatin.

bersambung,

Love Zano (Lanjutan dari Single Father) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang