Menepati Janji

800 120 12
                                    

👨‍🎓👩‍🎓

London.

Rere tergelak bersama teman-temannya selepas wisuda. Ia sudah menjadi sarjana. Masa kuliah S1 di London memang hanya tiga tahun dan Rere lulus tepat waktu. Makan siang di salah satu kafe tak jauh dari kampus terasa meriah. Mereka masih memakai toga wisuda juga. Mengabadikan momen dengan foto bersama tak terelakkan.

Seorang pria bule yang juga teman Rere bahkan merangkulnya dengan mesra. Rere tersenyum cerah bahkan tampak bahagia. Pak Iman menghampiri dari luar kafe. Ia berbisik satu kalimat yang membuat kedua mata Rere membulat sempurna.

Ia pamit pulang lebih dulu, meninggalkan teman-temannya yang kecewa. Tetapi Rere berjanji akan kembali lagi. Langkahnya cepat mengikuti pak Iman. Sepatu hak tinggi yang dikenakan tak menyulitkannya berjalan.

"Pak Iman nggak bohong, kan?" Rere memberikan tas kecil yang ia bawa ke pak Iman.

"Nggak, Mbak. Ngapain Pak Iman bohong. Ayo cepetan!" Pak Iman merangkul Rere. Pria gagah dengan pakaian kemeja rapi terbalut jas berjalan seraya menggandeng tangan Rere.

"Aduh ... aduh ... gimana ini, Pak!" cicit Rere saat mereka sudah di dalam mobil.

"Cepet ganti baju, Bibi udah siapin!" Pak Iman memberikan paper bag ke Rere yang duduk di belakang. Rere melepaskan toga yang dikenakan. Kemeja lengan pendek sebagai dalaman ia lepas menyisakan tang top. Pak Iman meminta Rere lebih cepat ganti baju. Segera ia kenakan baju yang dibawakan bibi.

"Pak, Mama Papa nggak ke sini, kan?" Rere merapikan tatanan rambut panjang yang ia blow, warna rambutnya juga tidak hitam lagi melainkan coklat gelap.

"Nggak, Mbak. Eyang kakung sama uti larang."

"Bagus!" tegas Rere. Ia memakai parfume, tak lupa memastikan wajahnya tampak cantik.

"Mbak," panggil pak Iman.

"Hm?" Rere masih bersiap-siap.

"Yakin, Mbak?"

Rere tersenyum, "Kita lihat nanti, Pak."

Perjalan tiba ditujuan, Rere mengatur napasnya dahulu sebelum turun dari dalam mobil. Bangunan itu begitu tinggi, salah satu gedung perkantoran mewah di London. "Semangat, ya, Mbak!" Pak Iman melambaikan tangan ke Rere yang mengangguk. Dengan langkah penuh keyakinan, Rere berjalan ke dalam gedung sementara pak Iman memarkirkan mobilnya.

Kini, Rere duduk menunggu di ruang khusus tamu. Ia berada di lantai dua belas. Suasana kantor begitu tenang, semua bekerja dengan fokus. Wanita bule bermabut pirang menghampiri, meminta Rere masuk ke ruangan lain. Ia mengangguk, lantas langkahnya mengikuti wanita itu hingga ke ruang rapat dengan meja besar. Hanya satu orang yang ada di sana, enam kursi tampak kosong.

Pria keturunan india namun dengan logat british yang kental meminta Rere duduk. Rere memangku tas lain yang tadi juga disiapkan bibi. Mereka bicara santai sambil pria india itu membaca kertas yang diberikan wanita bule tadi.

Tak lama, Rere dan pria itu berdiri. Saling menjabat tangan dengan wajah sumringah keduanya. Rere pergi, tapi sebelumnya bertemu seseorang lagi yang mengajak Rere ke ruangan lain.

Pak Iman berdiri di dekat mobil saat melihat Rere berlari sambil tersenyum lebar. "Keterima, Pak!" sorak Rere. Pak Iman memberi pelukan erat ke Rere.

"Selamat ya, Mbak, selamat!" Pak Iman tak kalah bahagia. Ia melihat Rere mulai bisa mengejar mimpinya bekerja di luar negeri setelah lulus kuliah. Tak butuh waktu lama karena memang Rere mendapatkan rekomendasi dari pihak kampus.

Mereka pulang ke rumah yang disewa eyang kakung selama mereka tinggal di sana. Uang jatah Rere diserahkan ke kedua orang tuanya. Sempat cekcok, tapi Rere keras kepala menolak. Tak peduli akan uang itu!

Love Zano (Lanjutan dari Single Father) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang