BAB 3

14 7 0
                                    

Sekarang

Aku sungguh ingin berlari ke mobilku dan pulang ke rumah sekarang juga kalau seandainya tidak ada ponsel yang harus dikembalikan. Entah kenapa pembagian ponsel ini terasa lama sekali, dan entah kenapa rasanya aku harus sekali menjadi yang terakhir. 

Tapi setidaknya aku lega acara ospek ini sudah selesai. Bukannya acaranya tidak menyenangkan, sebenarnya cukup menyenangkan karena aku mendapat teman baru. Dan yang terpenting tidak ada mental breakdown atau acara dimana kakak kelas kelebihan hormon hingga marah-marah. Acara ini cukup kekeluargaan, tapi rumah adalah istanaku. Meninggalkan rumah selama tiga malam cukup membuatku agak lelah.

“Aria.” Panggil seseorang dan saat aku menoleh ternyata itu Aron. 

“Ya?” Tanyaku padanya saat dia sudah berada di dekatku.

Aron tersenyum, “Boleh aku minta nomormu?”

“Di daftar MaBa kan ada kan?” Tanyaku karena aku sudah mengisi daftar mahasiswa baru dimana aku juga harus menulis nomor ponselku. 

Aron tersenyum lebih lebar, dari wajahnya aku tahu dia sedang menahan malu. Seseorang yang ada di sebelahku, Carol, menyenggolku dengan agak keras.

“Bicaranya ya.” Tegurnya sambil berbisik. Dan beberapa teman-temanku yang di dekatku dan Carol terbatuk pelan.

Ah… Aku dan keketusanku. Yah, aku tidak bisa menghilangkan kebiasaan itu.

“Ah… Sorry. Maksudku…”

Apa maksudku?

Aron mengedikkan bahunya, “Nggak apa.” Katanya menyelamatkanku dari keharusan membuat alasan. “Aku cuma mau minta langsung dari kamu kalau boleh.” Imbuhnya dengan senyum lembutnya.

“Boleh. Boleh. Sorry.” Ucapku sambil tersenyum ramah, lalu aku menyebutkan nomor ponselku.

Saat Angga masih berkutat dengan ponselnya aku melihat ke arah belakangnya dan perlahan senyumku menghilang.

Itu dia. Itu benar-benar dia. 

Aku masih benar-benar tidak menyangka aku akan bertemu dengan Vano lagi. Jadi malam kemarin apakah dia tahu kalau murid terakhir itu aku? Kenapa di hari-hari sebelumnya dia tidak ada kalau dia memang salah satu dari panitia?

Seolah dia tahu aku menatapnya, Vano mendongak dan menatapku. Kemarin kami berdua tidak bertukar kata-kata lagi. Banyak yang ingin kutanyakan padanya tapi pertanyaan-pertanyaanku terasa menguap saat melihat kedua matanya yang kini terasa asing dan dingin bagiku.

“Jadi aku boleh mengirimmu pesan?” Tanya Aron memutuskan pandanganku dari Vano. 

Rasanya pertanyaan Aron terasa bergerak lambat di otakku. Aku berkedip menatapnya sedikit lebih lama sebelum aku sanggup meresponsnya. “Mmm… Ya.” 

Aron tampak tidak yakin dengan jawabanku. Dia menelengkan kepalanya dan bertanya dengan serius. “Nggak ada yang keberatan?”

Aku menggeleng, “Nggak.” Kataku sambil mengulas senyum.

Aron mengangguk puas, “Oke.” Dia menunjuk ke belakang, “Aku ada rapat panitia, jadi ketemu lagi minggu depan?”

Aku mengangguk, “Tentu.”

“Dah.” Kata Aron melambaikan tangannya.

Setelah Aron berbalik aku juga cepat-cepat berbalik karena tidak ingin bersitatap dengan Vano lagi. 

“Jadi?” Tanya Carol penasaran yang berjalan di sampingku.

“Apanya?” 

“Katanya kamu nggak punya pacar?” Tanya Carol. 

Aku menoleh menatap Carol dan menatapnya dengan bingung. “Aku memang nggak punya pacar kok.”

Martha mengerutkan dahinya, “Tapi kalau responsmu begitu, rasanya kamu nyembunyiin sesuatu tahu?”

“Responku? Memang kenapa responku?” Kataku sambil mengingat-ingat.

Carol menarik tanganku untuk menghentikanku. “Tadi itu kamu kayak gini.” Dia menunjuk dirinya sendiri lalu dia tampak berpikir sesuatu dengan keras selama beberapa detik hingga tampak hilang dalam pikirannya. Melihat ekspresi wajahnya membuatku tertawa. “Kok ketawa sih?” Tanyanya kesal. “Tadi kamu itu ekspresinya begitu! Makanya Aron bingung lah! Aku aja ikut bingung. Tanya yang lain deh kalau nggak percaya.” Katanya sambil menunjuk Martha dan Krysta yang ikut menatapku.

Aku menghela nafas panjang, “Aku tadi cuma agak nggak fokus aja.”

“Nggak fokus sama kegantengannya ya?” Kata Martha membuatku teman-teman tertawa.

Di ospek tiga hari ini aku mendapat tiga teman dekat. Martha, Carol dan Krysta. Martha dan Carol teman satu SMA sedangkan Krysta kami juga baru kenal di ospek kemarin. Krysta tidak banyak bicara seperti Carol dan Martha, tapi kami berempat cukup cocok satu sama lain dan mereka tampaknya orang-orang baik.

***

Hari-hari pertamaku sebagai mahasiswa arsitek akhirnya dimulai, cukup sibuk tapi sangat menyenangkan. Terkadang di kelas-kelas tertentu kami jadi satu dengan kakak kelas dan di saat itulah aku sering kali gugup. Saat tanda tangan absen aku selalu membaca daftar nama mahasiswa di kelas itu dan kali ini mataku terhenti pada nama yang akhir-akhir ini membuatku gugup. Devano.

Suara derit kursi di sebelahku membuatku terjengit. "Hai. Untung absennya belum lewat." Aron menunjuk kertas absen di depan mejaku. Aron duduk di sampingku sambil terengah.

"Oh, ini." Kataku sambil menyodorkan kertas di tanganku.

"Telat. Gara-gara Vano." Kata Angga sambil membubuhkan tanda tangannya lalu dia mengulurkan kertas itu ke belakangnya. Dan saat aku menoleh aku mendapati Vano duduk di belakang Angga. Tudung jaketnya kembali ditutup rendah seperti yang dia lakukan saat pertama kali aku bertemu dengannya. Ini pertama kalinya aku melihatnya lagi setelah ospek berakhir hampir seminggu yang lalu. 

Vano mengangkat tatapannya dan menatapku dingin dari bawah tudung jaketnya. Seolah aku di sentak olehnya kedua kalinya, aku langsung kembali berbalik ke depan. Tidak membutuhkan beberapa detik lebih lama seperti yang kulakukan sebelumnya.

Jangan. Jangan lagi hal itu terulang. Aku masih ingat kata-katanya yang terdengar dingin. ya, mungkin aku yang salah karena menatap orang seperti itu memang bisa dibilang tidak sopan. Tapi aku tidak bisa menahannya karena dia adalah orang yang terakhir yang kupikir akan kutemui lagi di dalam kehidupan ini. Selain itu Vano terasa berbeda sekali dengan Vano yang kuingat. Mungkin waktu beberapa tahun itu cukup untuk mengubah seseorang. Tapi apapun itu aku benar-benar tidak menyangka akan bertemu dengannya lagi, hingga beberapa saat kupikir aku hanya salah orang. 

Jadi apakah Vano masih ingat? Tapi pertanyaannya padaku beberapa malam lalu, 'Masih takut gelap?' adalah bukti dia masih ingat. 

Tanpa kusadari aku meraih gelang di tangan kiriku. Bukan, ini bukan dari Vano. Hanya saja ini mengingatkanku padanya.

String Of HeartsWhere stories live. Discover now