8

11.7K 1.1K 65
                                    

Akhirnya Gistara bisa bernafas lega saat ternyata kakak iparnya-istri dari kakaknya membawa pembalut.

Tak butuh waktu lama, Gistara kembali ke kamar untuk memakainya. Saat baru membuka pintu kamar hotelnya, Gistara bisa melihat Raka yang ternyata sudah selesai mandi dan tengah memainkan ponselnya di sofa.

"Loh Mas, sprai dan selimutnya mana ya?" Tanya Gistara saat tidak menemukan sprai dan selimut kotornya. Ranjang sudah bersih dengan sprai baru. Padahal dia belum lama keluar dari kamar. Mungkin hanya sekitar tiga puluh menit. Namun, keadaan lebih bersih dari yang tadi.

Raka meletakkan ponselnya untuk sepenuhnya menghadap ke arah Gistara yang tengah berdiri di sisi ranjang. "Tadi sudah aku rendam sekalian mandi."

Mengetahui fakta tersebut membuat Gistara semakin menggerutu dalam hati karena malu. Kenapa dia bisa seceroboh itu sih? Kenapa tadi tidak dia rendam terlebih dahulu sebelum di ambil alih oleh Raka?

"Padahal Mas Raka nggak perlu repot-repot. Itu pasti jijik banget kalau kamu lihat."

"Nggak papa, kamu nggak perlu malu sama suami."

Ucapan Raka yang terkesan manis membuat Gistara semakin malu. Ayolah, meskipun mereka sudah suami istri, namun kalau untuk urusan itu tetap saja malu. Apalagi mereka belum genap dua puluh empat jam menjadi suami istri.

Untuk menghindari rasa malunya, Gistara memilih mengangguk. "Makasih, Mas."

"Oh iya, kita sudah di tunggu sama keluarga. Mas Raka bisa turun dulu, nanti aku nyusul." Ujar Gistara sebelum beranjak.

"Kamu mau apa?"

"Em, aku mau ke kamar mandi dulu sebentar."

Raka mengangguk, "Kita ke bawah bersama, aku tunggu kamu."

Gistara hanya mengangguk sebelum berlalu ke kamar mandi.

••••••••

"Ini dia yang kita tunggu pengantin barunya."

"Lama sekali, baru ngapain?"

"Tanpa bertanya pun pasti sudah tau alasan pengantinnya turun terlambat."

Berbagai godaan terlontar bersamaan dengan mereka yang saling melempar tawa mendengar ucapannya sendiri, merasa puas menggoda pengantin baru yang berjalan beriringan itu.

Gistara hanya tersenyum kecil mendengar godaan-godaan dari keluarganya dan juga keluarga Raka.

"Maaf membuat semuanya menunggu." Ujar Gistara tak enak hati. Dia dan Raka benar-benar datang paling akhir. Kursi pun sudah penuh, hanya tersisa untuknya dan Raka saja.

Karena satu meja tidak cukup untuk sarapan bersama keluarga besar dari kedua pihak, kini sarapan terbagi menjadi beberapa meja. Meja untuk Gistara dan Raka berisi keluarga inti dari keduanya. Sedangkan beberapa meja lainnya di isi oleh keluarga besar Ardinanta dan Erlangga. Meski begitu, meja semuanya hanya berjarak sekitar dua langkah saja. Jadi walaupun terpisah, mereka tetap bisa berbincang satu sama lain.

"Tidak masalah Gistara, kami juga pernah menjadi pengantin baru." Ujar Tante Gania-adik dari ibu Gistara.

"Nggak papa sayang, ayo silahkan duduk." Sania mempersilahkan Gistara dan Raka untuk duduk.

Raka menarik kursi yang akan di duduki oleh Gistara.

"Terimakasih, Mas."

Perlakuan Raka sontak mengundang kembali godaan-godaan yang tadi sempat redam.

"Aduh, jadi pengen jadi pengantin baru lagi."

"So sweet sekali Raka. Pengen banget punya suami yang kayak Raka. Tapi udah terlanjur dapat suami yang nggak peka."

Arranged MarriageTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon