36. Sempurna

22 2 1
                                    

Udah nyaris empat bulan Bima mengenal Petra, tapi dia nggak pernah memberanikan diri buat memangkas jarak saat mereka bersama. Seolah Petra terlalu berharga untuk dia sentuh.

Kebiasaan Petra di hari jumat buat bagi-bagi barang atau makanan masih belum hilang, kadang Bima ikut membantu kalau dia punya waktu, kadang juga Bima ikut Petra membeli barang buat dibagi-bagikan.

Mereka lagi di taman kampus sekarang. Ramai, Bima sengaja memilih tempat yang ada banyak orang biar Petra merasa nyaman.

Petra memakai celana kulot krim, baju panjang dan kerudung berwarna coklat, jaket yang tadi dia pakai Petra gunakan buat menyelimuti kaki. Tangannya sibuk bermain di atas laptop yang Petra pangku, sibuk merevisi skripsi setelah dapat ocehan dari dosen pembimbingnya.

Bima? Dia duduk di depan Petra dengan jarak lebih dari semeter. Tangannya memetik gitar yang dia dekap, sedangkan pandangan matanya lurus ke depan.

"Eh! Aku tau lagu ini!" Petra yang mendongak tiba-tiba ngebuat Bima kelabakan. Nggak expect bakal dapat senyuman lebar semanis milik Petra. "Ini lagu Sempurna, kan?"

Bima nggak sadar sejak kapan dia memainkan intro lagu itu. Tangannya hanya bergerak sendiri, dia juga nggak sadar kalau sedari tadi bergumam menyanyikan secuil lirik dari Sempurna.

"Intronya cakep bangeettttt!!! Kayak nggak ada yang lebih bagus dari intronya lagu Sempurna! Tau nggak sih pas dulu lagi booming-boomingnya ini lagu, aku setel terus musiknya di rumah sampe ayah aku gumoh."

Bima ketawa. Cara Petra cerita menghibur hati. "Sebagus itu?"

"Iya. Masku sampe ngira aku kena peletnya penulis ini lagu."

Buat orang yang melihat sekilas ngira Bima yang lebih tua dilihat dari Bima yang hanya mendengarkan ocehan Petra, pasti nggak ada yang menyangka kalau Petra dua tahun lebih tua darinya.

"Suka lagu apa lagi? Biar bisa aku nyanyiin."

Petra keliatan berpikir, matanya menyipit, mengingat-ingat lagu mana yang ingin dia dengar.

Bima menunggu. Dia membuka tas saat merasa mulutnya pahit, mengambil permen dan memasukkannya ke mulut, diambilnya satu dan diberikan ke Petra.

Sudah ada sebulan Bima berhenti merokok. Hampir gila rasanya, mulutnya selalu terasa pahit, tangannya nggak berhenti bergerak saat rindu sama sensasi memegang rokok. Lebih kasian penghuni kost Arjuna yang dapet amukan Bima karena dia lebih sensitif.

Untung Petra menyarankan buat mengganti konsumsi rokok dengan permen. Jadi kayak gini Bima sekarang, ke mana-mana selalu bawa permen, coklat sama camilan manis lainnya.

"Lagu yang kamu mainin pas maba dulu bagus."

Bima memiringkan kepala. "Yang mana?"

"Yang pernah kamu mainin dulu pas ospek dulu itu. Kan semua jurusan dulu disuruh unjuk bakat pas ospek, terus jurusan Seni kamu yang maju."

Itu udah dua tahun lalu, gimana Bima bisa ingat?

Tunggu. Dua tahun lalu? Bima aja nggak ingat, gimana Petra bisa ingat?

"Yang mana?"

"Yang kamu main biola terus pas mau ending malah fals itu."

"Ah, ini?" Bima langsung memainkan gitarnya. Dipandangi raut wajah Petra, saat Petra tersenyum lebar, Bima ikut tersenyum.

"Iya, ini! Judulnya apa?"

"Carol of the Bells. Aku nggak bisa pakai biola, makanya mainin lagunya nggak bisa sampai selesai." Bima ketawa, inget banget dulu dia nekat main biola dan jadi bahan tertawaan rame-rame karena kesalahannya itu. "Aku bisa mainin lagunya sampai selesai kalau pakai gitar."

ARJUNA (END)Where stories live. Discover now