Bab 2: Ipar Yang Menyebalkan

17 1 0
                                    

“Prangg!” Mira bergerak terjingkat kala foto pernikahannya dengan sang suami di dinding tiba-tiba saja jatuh dan pecah berkeping-keping di lantai saat ia lewat. Mira tertegun untuk beberapa saat sebelum akhirnya ia tersadar karena suara teriakan ibu mertua yang keras menyadarkannya.
Derap langkah kaki yang bergerak menuju ke arahnya, membuat Mira berjongkok memunguti pecahan bingkai foto yang berserakan di lantai, “ada apa, Mira?” suara ibu mertua yang mengangetkannya itu tak sengaja menggores luka di telunjuk tangan Mira. Mira menoleh patah-patah ke arah ibu mertuanya yang menatapnya tak suka.
“Nggak tahu, bu. Tiba-tiba saja jatuh,” jawab Mira dengan tangan sedikit gemetar. Selain belum makan apapun sejak bangun tadi, Mira juga merasa tertekan selama hidup dengan mertuanya beberapa bulan terakhir ini.
“Gak ada angin, gak ada gempa, gimana bisa jatuh kalau gak kamu yang jatuhin?” tanya sang mertua julid. Mira terdiam, sudah terbiasa jika mertuanya terus menuduh dan menyudutkannya, “bersihkan sampai tak bersisa, jangan sampai nanti melukai kaki Prima kalau pulang,” kata sang mertua lagi sebelum berlalu pergi masuk ke dalam rumah. Mira tak menjawab hanya menghela napas berat karena sikap mertuanya yang tak pernah baik padanya.
Dengan hati-hati Mira memunguti pecahan kaca bingkai foto itu dan membersihkan serpihannya dengan paku. Perasaannya tiba-tiba saja tak enak. Kejadian seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya.
“Assalammualaikum!” suara seorang perempuan yang keras membuat Mira menoleh. Senyum perempuan yang baru datang dengan beberapa kantong plastik di tangan kanan dan kirinya itu membuat Mira nelangsa. Bagaimana mungkin ia tak nelangsa, tadi pagi perempuan yang tersenyum ke arahnya itu memaksanya memberinya uang dengan dalih belum membayar spp anak sulungnya selama tiga bulan dan karena alasan itulah Mira akhirnya memberikan sebagian tabungannya padanya. Sialnya, sepertinya lagi-lagi Mira telah tertipu, terbukti dengan beberapa belanjaan yang perempuan itu bawa pulang ke rumah.
“Kamu ngapain, Mira?” tanya sang ipar.
“Bingkai fotonya jatuh, mbak,” jawab Mira singkat.
“Ohhhh, bersihin sampai bersih ya, setelah itu cobain daster baru yang kubeli buat kamu nieh,” kata perempuan itu. Mira menghela napas berat dan menatap tangan yang membawa daster dan terulur ke arahnya itu.
“Dapat uang dari mana mbak Nia?” tanya Mira padanya.
“Setelah kamu pinjemi uang tadi, tiba-tiba mas Hanif transfer,” jawab sang ipar.
“Alhamdulillah, jadi bisa kembalikan uangku kan mbak?” tanya Mira lagi.
“Gak bisa, biar aja ntar dikembalikan sama Prima, ya,” kata Nia dengan ringan.
“Kok gitu, mbak? Kan mbak Nia yang pinjem ke Mira, kok mas Prima yang balikin?” tanya Mira tak sabar.
“Lah emang kenapa kalau adik yang ngelunasin hutang kakaknya? Gak boleh?” tanya Nia mulai marah.
“Bukannya gak boleh, tapi itu bukan tanggung jawab mas Prima mbak, lagian bukan mas Prima yang pinjam uang Mira tapi mbak Nia,” kata Mira.
“Iya, aku yang pinjam dan Prima yang balikin. Sama aja, kan? Dia adik aku loh!”
“Tapi mas Prima suami aku, mbak,” kata Mira tak mau kalah.
“Terus kenapa? Kalau suami kamu berarti gak boleh ngasih aku uang, gitu?” tanya Nia yang mulai marah.
“Kenapa semua beban harus ada pada mas Prima, mbak? Kan mbak Nia udah nikah, ada yang menafkahi juga, kenapa hutang mbak Mira harus mas Prima yang bayarin?” tanya Mira. Kali ini ia tak mau bertoleransi lagi dengan sikap sang kakak ipar yang semena-mena padanya. Mira tak mengerti bagaimana bisa Nia masih bisa minta uang kepada adiknya sedangkan ia sendiri sudah dicukupi oleh suaminya. Dari mana pemikiran itu berasal?
“Eh, Mira! Denger ya, aku dan Prima ini satu darah, dia adik lelaki aku dan sudah kewajibannya berbakti padaku! Kamu dan Prima itu hanya ada ikatan di atas kertas sedangkan aku sah sebagai saudaranya. Inget ya, Mir, kalau darah lebih kental dari air. Jadi kalau aku minta apapun ke Prima itu wajar karena hubunganku lebih kental dari kamu yang hanya orang luar!” kata Nia kesal.
“Ada apa ini? Kenapa ribut-ribut?” mertua Mira datang ditengah percecokan antara Nia dan Mira.
“Ini bu, si Mira mulai ngelunjak dan ngatur-ngatur! Apa salahnya kalau aku minta uang ke Prima, dia kan adik aku juga!” aduh Nia kesal.
“Gak salah, mbak! Sama sekali gak salah, yang salah itu kalau mas Prima seolah-olah menanggung semua beban kebutuhan mbak dan keluarga mbak, sedangkan mbak bukan janda dan masih bersuami! Uang sepuluh juta, lima belas juta, dua puluh juta, belum lagi cicilan motor, jajan anak-anak mbak, bayar lampu dan listrik, dan hutang mbak yang dimana-mana itu,” kata Mira geram, “sadar gak sih mbak, kalau mbak itu udah keterlaluan, sedangkan mas Prima kewajiban utamanya padaku dan ibu, mbak!” seru Mira geram.
“Kamu mulai hitung-hitungan? Ngelunjak mentang-mentang baru aja hamil?” Mira tersulut emosi.
“Aku dan anakku juga berhak hidup layak, mbak,” kata Mira pada Nia.
“Anak belum lahir, emang kebutuhannya apa? gak ada! Kamu aja yang pelit dan itung-itungan!” seru Nia.
“Bukan!”
“Sudah! Cukup!” bentak ibu mertua Mira. Mira dan Nia diam, sama-sama saling menghela napas berat dan memandang dengan sebal, “Nia benar, Mira! Sudah kewajiban Prima buat menuhin kebutuhan Nia jika ia kekurangan?” kata ibu mertua Mira yang membuat Mira melotot, meski ini bukan pertama kalinya Mira mendengar pembelaan untuk sang kakak ipar dari ibu mertuanya, tapi tetap saja rasanya sangat menjengkelkan. Anak salah bukannya dibenerin malah didukung perbuatannya.
“Benar gimana, bu? Hampir semua gaji mas Prima habis buat mbak Nia, yang disisain buat aku itu gak cukup buat menuhin kebutuhan rumah ini selama sebulan,” kata Mira protes.
“Kan kamu jualan, ada kan uangnya?” tanya Nia tak tahu malu.
“Ya Allah mbak, itu uangku, yang aku persoalkan di sini adalah uangnya mas Prima yang tak pernah bisa memenuhi kebutuhanku dan rumah ini!” seru Mira kesal.
“Halah! Ini rumah juga rumah ibuku, kamu numpang, udah untung gak bayar kontrakan tiap bulan, kan? Tinggal tidur nyenyak!” Nia tak mau kalah.
Mira tak tahu lagi harus bicara bagaimana dengan Nia, ia akhirnya berlalu masuk ke dalam kamarnya dan tak mau mendebat Nia lagi. Hatinya lelah dan ia tak mau mentalnya rusak gara-gara bertengkar dengan Nia yang akan berakibat pada kondisi kandungannya.
***
Suara motor terdengar bebarengan dengan adzan Isya’ yang berkumandang. Mira gegas menuju teras rumah karena tahu bahwa yang pulang adalah Prima. Dua minggu sekali Prima akan pulang ke rumah, pekerjaannya di Surabaya tidak memungkinkannya untuk pulang tiap hari, jadi Mira memakluminya. Jarak dari Surabaya dan Malang bisa empat jam ditempuh bolak balik dan menggunakan motor, itu kenapa Mira memaklumi bagaimana letihnya sang suami jika harus bolak balik. Pernah suatu ketika Mira memberikan usul agar ia bisa ikut sang suami di kost an di Surabaya, tapi Prima menolak dengan halus. Apalagi sekarang Mira hamil dan suaminya tak mau ada apa-apa dengannya.
“Assalammualaikum,” sapa Prima dengan senyum yang ia pasakkan. Perdebatan dengan July di hotel tadi masih mengganggu pikirannya, tapi sebisa mungkin ia tersenyum di depan Mira, agar istrinya tak curiga atas perselingkuhannya itu.
“Waalaikumsalam, mas, lelah?” tanya Mira seraya mencium takzim punggung tangan suaminya dan membawakan tas kerjanya.
“Lumayan, dek,” kata Prima seraya mengikuti langkah Mira masuk ke dalam rumah.
“Eh, Prima udah pulang! Jatah bulanan mbak masih sama, kan, Prim? Oh ya, mbak punya hutang enam ratus ribu ke Mira, kamu bayarin, ya?” Nia datang ke rumah dan serta merta mengatakan itu kepada Prima bahkan Prima belum duduk di rumahnya. Mira hanya bisa menatap sebal ke iparnya itu. Prima menatap sang istri yang berwajah masam, ia tahu bahwa Mira tak suka dengan sikap kakaknya tersebut tapi ia tak mau rebut, apalagi Ibunya pasti akan membela Nia dari pada Mira.
“Iya, mbak,”
“Aku mau USG empat dimensi loh, mas. Kamu emang gak mau lihat perkembangan calon anak kita?” tanya Mira berusaha mendapatkan haknya dari kakak ipar yang mau merampasnya.
“Iya, nanti kita USG,” kata Prima.
“Kayaknya ada mobil lagi nih yang terjual. Cair donk uangnya, Prim,” kata Nia tak sabar. Prima tak mengubris, malah memandang wajah Mira dengan rasa bersalah ketika ia ingat July.
“Masak apa hari ini?” tanya Prima mengalihkan perhatian Mira dari Nia.
“Masak urap-urap kesukaan kamu sama rempeyek teri, mas,”
“Temenin mas makan, ya. Oh, ya, ibu ke mana?” tanya Prima.
“Arisan,” jawab Mira cuek. Mira juga kesal dengan ibu mertuanya yang hobinya ikut arisan tapi gak bermodal, selalu minta uang padanya saat arisan, seperti tadi, beliau minta seratus lima puluh ribu buat arisan.
“Ada uang?” tanya Prima.
“Uang jualan gorengan, udah habis semodal-modalnya,” jawab Mira sebal sembari mengambil piring dan menuangkan nasi di atasnya untuk sang suami.
“Makanya, jangan cuma jual gorengan saja, Mir. Coba deh jualan rujak juga, pasti laris,” jawab mbak Meri.
“Kalau untuk ibu aku gak akan ungkit, mbak! Tapi …”
“Tapi, apa? kalau untuk aku kamu gak ikhlas?” tebak Nia.
“Mbak tahu sendiri mana hak dan kewajiban jika adik lelaki sudah menikah! kalau gak tahu belajar agama dulu atau tanya ke pak mudin,” saran Mira.
“Kamu ngelunjak, ya! Kamu ngatain mbak ini goblok?” tanya Nia marah. Prima menghela napas berat, kepalanya makin pusing dengan pertengkaran istri dan kakaknya.
“Mana ada aku ngatain mbak gitu? Memang kalau belajar lagi berarti orang itu bodoh? Nggak donk, orangnya haus akan ilmu,” kata Mira membela ucapannya.
“Istri kamu ini ya, Prim, mentang-mentang udah hamil sekarang makin ngelunjak. Kadang mbak curiga, dia tuh beneran hamil apa cuma pura-pura? Gimana kalau pas kamu kerja di luar kota dia selingkuh?” tanya Nia menuduh Mira yang bukan-bukan. Prima tercengang, begitupun dengan Mira yang kaget atas tuduhan Nia.
“Mbak!” seru Mira.
“Apa? bisa aja, kan? Lagian kamu di sini, Prima di sana? Mana sempet kalian ena ena kalau Prima pulang saja dua minggu sekali? emang bisa langsung jadi? Padahal pas bertahun-tahun ditungguin, kamu gak hamil-hamil tuh!” seru Nia makin kencang memfitnah Mira. Dada Mira terasa sesak mendengarnya, tuduhan tak beralasan dari Nia membuat Prima menatapnya dengan tatapan berbeda.
“Mas …”
“Assalammualaikum,” terdengar suara lelaki di luar rumah.
“Nah, itu pasti lelaki yang mau ambil pesanan gorengan ke kamu, kan? Lelaki sama yang datang dua hari sekali. Emang dia gak bosen makan gorengan melulu? Mana dingin lagi gorengannya!” seru Nia makin membakar cemburu di hati Prima. Untuk membuktikan ucapan Nia, Prima bangkit dari kursi di meja makan dan bergerak ke ruang tamu dan benar apa yang dikatakan oleh kakaknya, bahwa ada lelaki yang sama yang sering dilihatnya saat pulang, datang ke rumahnya hanya untuk mengambil pesanan gorengan buatan Mira, membuatnya berpikiran yang tidak-tidak.

Air Mata Seorang IstriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang