Bab 4: Fitnah Dari Mertua

14 2 1
                                    

Mira pikir kegiatannya sebagai ibu rumah tangga yang merangkap jadi tukang jual gorengan akan membuatnya cukup kelelahan ketika malam datang dan membuatnya mudah terlelap, sayangnya itu tak terjadi padanya. Impiannya untuk bisa tidur yang cukup selama kehamilan agar kondisi janinnya baik-baik harus sirna ketika perubahan hormon pada tubuhnya mempengaruhi jam tidurnya. Mira tetap terjaga, bahkan sampai tengah malam biasanya. Tapi kali ini ia tak hanya terjaga sampai tengah malam, melainkan lewat tengah malam pula. Pikirannya melayang-layang ketika ia menemukan dua tiket bioskop yang ada di dalam tas suaminya. Dipandanginya wajah sang suami yang tengah terlelap di sebelahnya, begitu tenang dan pulas, beda dengan dirinya yang gelisah dan bingung.
Mira memutuskan bangkit, demi menghadirkan rasa kantuk pada matanya, ia membuka laci lemarinya dan mengeluarkan benang wol di dalam sana. Menyulam adalah kegemarannya, jika Amila sang adik adalah seorang perancang busana yang berbakat, maka Amira tak jauh berbeda dengannya. Mira sangat senang menyulam dan membuat beberapa pakaian dari benang wol. Beberapa pakaian bayi yang lucu-lucu telah berhasil ia buat, termasuk topi dan kaus kakinya yang menggemaskan. Mira bahkan tak sabar ingin mengenakan hasil karyanya pada anaknya ketika lahir nanti.
Mira menikmati aktivitas menyulamnya hingga empat puluh menit kemudian ia telah berhasil menyelesaikan kaos kaki mungil lainnya dan rasa kantuknya datang. Sebelum rasa kantuknya pergi, Mira lantas menyimpan perlengkapan menyulamnya dan memutuskan kembali tidur.
Suara beberapa barang dapur yang jatuh membuat Mira terpaksa bangun. Kepalanya terasa berat saat ia membuka matanya dan menengok jam di dinding. Rupanya sudah jam lima pagi, gegas Mira bangun untuk salat subuh sebelum matahari sempurna terbit. Karena semalam tidak cukup tidur, kepala Mira terasa berat. Saat ia memasuki dapur untuk ke kamar mandi, ia melihat sang mertua menatapnya dengan ketus.
“Suami pulang bukannya bangun lebih pagi malah kesiangan! Dasar pemalas!” umpat sang mertua.
“Maaf bu, semalam Mira gak bisa tidur,” jawab Mira.
“Makanya gak usah selingkuh, jadinya gak perlu malam-malam kirim pesan, kan?” baru juga Mira akan melangkah masuk ke kamar mandi untuk wudlu, ibu mertuanya tengah memfitnahnya hingga membuatnya urung melangkah masuk ke kamar mandi.
“Mira gak selingkuh, bu,” jawab Mira.
“Halah! Alesan!” kata sang mertua. Ingin Mira menjelaskan kesalahpahaman itu pada sang mertua, tapi akhirnya ia malah memilih untuk mengambil wudlu lebih dulu dan menunaikan ibadah wajibnya.
“Mantu sekarang gak tahu diuntung! Udah bagus dinikahin tapi ternyata gak bisa hamil, sekalinya hamil ternyata anak orang lain! Duh Gusti, salah apa anakku dapat istri pengkhianat!” ibu mertua Mira meraung-raung di dapur sembari mencuci piring yang tak kotor dengan kesal hingga menimbulkan suara bising. Dalam wudlunya, Mira menangis, tuduhan yang tak masuk akal itu kini sementara harus ia tahan sampai ia melaksanakan ibadahnya.
Mira hapal perangai ibu mertuanya, selalu tak puas dengan apa yang ia lakukan. Bagi sang mertua, dirinya seolah benalu untuk anaknya yang hanya bisa menghabiskan uang sang anak. Berapapun yang Mira berikan kepada sang mertua, selalu saja dianggap itu uang anaknya, meski sang mertua tahu sendiri bahwa ia juga banting tulang cari rejeki dengan berjualan.
Selama ini Mira bertahan sekuat tenaga karena ada cinta yang besar untuk sang suami di hatinya. Orang bilang rumah tangga itu pondasinya adalah cinta, maka sebesar apapun badai yang mengguncang jika cintanya kuat maka tak akan bisa meruntuhkan rumah tangganya. Mira telah membuktikannya, cintanya yang besar kepada Prima, membuatnya bertahan di tengah-tengah keluarga Prima yang dari awal tak suka padanya dan selalu membuat Mira tak nyaman dengan mereka. Meski begitu, Mira tak membalas keburukan mereka dengan keburukan, melainkan dengan senyuman dan kesabaran di hatinya. Ia percaya, manusia pasti berubah dan menyesal, dan ia yakin suatu hari nanti sang mertua akan tahu bagaimana dirinya dengan baik dan akan menerimanya.
Keluar dari kamar mandi, Mira gegas masuk ke kamar dan menggelar sajadah lalu menunaikan kewajibannya sebagai umat muslim untuk menunaikan ibadah dua rakaatnya. Di sujud terakhir, Mira berdoa panjang-panjang kepada Tuhan semesta Alam, agar memberinya kesabaran dan kekuatan serta, menunjukkannya kebenaran dari kehidupan yang ia jalani.
Usai salat, Mira melipat mukenahnya dan mengamati suaminya yang masih terlelap. Ingin sekali ia membangunkan sang suami dan memintanya salat tapi percuma, matahari telah terbit dengan sempurna. Gegas Mira ke dapur untuk membantu sang mertua dan menjelaskan kesalahpahaman yang terjadi.
“Mira gak selingkuh, bu,” kata Mira pada sang mertua. Mertuanya hanya menatapnya sekilas dengan lirikan tak suka.
“Tetapi lelaki yang sama selalu datang dan beli gorenganmu, kan?” tanya sang mertua.
“Kalau begitu, apa Mira juga dituduh berselingkuh dengan pak RT, pak Toni, Pak Mail, Pak Jayus yang setiap hari ngopi di teras rumah sembari menikmati gorengan yang Mira buat?” tanya balik Mira. Sang mertua lantas diam, ia kenal dengan empat orang yang disebut Mira barusan, dan benar keempatnya adalah pelanggan tetap Mira saat berjualan.
“Ya bisa saja,” kata Nia yang tiba-tiba nimbrung ucapan Mira dan ibu mertuanya.
“Mbak, ada orang bilang, mulutmu adalah harimaumu. Jangan sampai pak Jayus dengar apa yang mbak barusan ucapkan, bisa dibawa ke kantor polisi dengan tuduhan fitnah serta pencemaran nama baik, mbak. Mbak tahu kan kalau pak Jayus itu polisi dengan pangkat yang tinggi?” tanya Mira yang membuat Nia terdiam. Mira kembali menoleh ke arah sang mertua yang diam saat memandangnya.
“Ibu tinggal bersamaku selama ini, kita satu atap, ibu bahkan tahu di mana aku belanja jualanku dan kemana saja aku pergi. Bahkan, aku tak pernah pergi dari rumah ini tanpa ijin ibu,” kataku pada perempuan paruh baya tersebut. Mira hanya berharap, semoga ibu mertuanya mengerti bahwa ia tak mungkin berselingkuh dengan lelaki lain sedangkan statusnya masih istri dari putranya.
***
“Mas, aku berencana ikut ya ke Surabaya?” kata Mira yang langsung membuat Prima tersedak minumannya saat ia menyeruput pelan kopinya. Sikap Prima yang kaget itu membuat firasat Mira semakin kuat bahwa ada hal yang sedang suaminya sembunyikan darinya, apalagi sebelum menyeruput kopinya barusan, Mira tak sengaja memergoki suaminya tengah bertelepon di teras rumah secara pelan-pelan.
Siapa yang diteleponnya?
“Mau apa?” tanya Prima.
“Kan mas sudah gak bolehin aku buat jualan gorengan, jadi ya buat apa aku di sini. Lagi pula semenjak hamil, aku terus kepikiran sama mas, mungkin anak kita gak mau jauh dari bapaknya,” jawab Mira seraya mengelus perutnya.
“Aku di Surabaya itu kerja, Mira, bukan mau main-main,” kata Prima.
“Lah memang aku ngajakin kamu liburan nonton bioskop, mas?” tanya Mira yang membuat Prima tersedak lagi dan kali ini terbatuk-batuk.
“Nonton bioskop?” tanya Prima dengan bingung. Prima terlihat gelisah, ia takut ketahuan karena baru-baru ini ia dan July keluar nonton bioskop bersama.
“Mas mau ngajakin Mira nonton bioskop?” tanya Mira dengan wajah yang pura-pura senang.
“Hah? Eh?” Prima terlihat bingung, “kamu mau nonton?” tanya Prima.
“Boleh, ada film apa ya yang bagus?” tanya Mira, ia sengaja mengikuti alur pembicaraan yang menyimpang ini, membuat Prima semakin gelisah hingga ia bisa menebak apa yang sebenarnya terjadi. Prima nampak kikuk.
“Gak ada yang bagus, adanya film horror Indo semua,” jawab Prima.
“Kok mas tahu? Udah ke Bioskop?”
“Eh? Apa?” Prima makin bingung, “kenapa tiba-tiba bahas Bioskop sih?” tanya Prima kesal akhirnya. Ia sadar telah melakukan beberapa kesalahan yang jika dilanjutkan akan membuat fatal nantinya.
“Mas sendiri yang bilang kan tadi? Aku cuma ngikutin mas aja,” kata Mira berkilah, ia tersenyum kecil, senang karena berhasil membaut suaminya bingung dan gelisah mencari pembenaran.
“Mas mau ke warung sebentar buat ngopi,” kata Prima seraya berdiri dan Mira mengangguk. Mira tahu, Prima hanya menghindarinya berbicara saat ini.
Hari ini cukup di sini, mas. Besok saat kamu kembali ke Surabaya, aku benar-benar akan ikut denganmu.


Air Mata Seorang IstriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang