Bab 3: Aroma Parfum

12 3 0
                                    

Mira benar-benar tak habis pikir dengan fitnah yang dilontarkan oleh Nia. Melihat Prima, sang suami berdiri dari kursinya dan mengurungkan niat untuk menyantap makanannya, membuat hati Mira sedikit cemas, takut kalau sang suami termakan fitnah kakaknya sendiri.
“Kak Nia seharusnya tahu bahwa fitnah itu lebih kejam dari pada pembunuhan,” ujar Mira seraya berlalu dari hadapan Nia yang melotot mendengar ucapan adik iparnya.
“Dasar! Makin belagu!” Nia terlihat kesal dan ikut melangkah keluar mengikuti adik dan istrinya, hatinya masih sakit dengan apa yang diucapkan oleh Mira barusan padanya, ia berencana membakar fitnah yang ia lontarkan atas Mira agar Prima termakan ucapannya dan pertengkaran antara Prima dan Mira terjadi, dengan begitu ia akan merasa puas.
“Siapa, ya, mas?” Prima bertanya pada lelaki tegap dan tampan yang berdiri di teras rumahnya seraya tersenyum ramah ke arahnya.
“Saya pelanggan mbak Mira, mas. Mau ambil pesanan gorengan,” jawab pemuda itu ramah. Prima sama sekali tak menanggapi senyum ramah pemuda itu, apalagi pemuda di hadapannya menyebut Mira dengan sebutan ‘mbak’, membuatnya berpikiran yang tidak-tidak.
“Mira!” teriak Prima yang membuat pemuda di hadapannya, serta Nia dan Mira yang dibelakangnya kaget mendengar teriakannya itu.
“Mas, kenapa teriak-teriak?” tegur Mira.
“Kupikir kamu di dapur,” jawab Prima malas.
“Mas Baim, tunggu bentar, saya ambilkan pesanannya tadi, ya,” kata Mira ramah kepada pemuda tampan itu yang mengangguk canggung seraya melirik ke Prima dengan kikuk. Mira berlalu masuk, Nia tersenyum licik, merasa memiliki kesempatan untuk memanas-manasi Prima saat ini.
“Sering pesan gorengan ke Mira, ya? Emang suka gorengan dingin? Di ujung jalan masih ada yang buka dan hangat loh,” kata Nia.
“Iya, mbak, tapi rasanya beda, enak buatan mbak Mira,” jawab pemuda itu.
“Emang gak bosen beli gorengan tiap dua hari sekali?” tanya Nia lagi. Pemuda itu tak menjawab pertanyaan Nia, karena baginya tak penting menjelaskan buat apa gorengan yang dibelinya hari ini. Apalagi Mira sudah datang dengan gorengan di tangannya dan memberikannya ke pemuda itu.
“Makasih, mbak, Mira,” jawab pemuda itu dan Mira mengangguk.
“Gak bayar?” tanya Nia.
“Udah ditransfer, mbak,” jawab Mira.
“Wah, hebat ya penjual gorengan sekarang, maju banget, sampai-sampai bayar aja di transfer,” kata Nia.
“Udah langganan, mbak,” jawab Mira.
“Sampai bisa transfer segala, emang pelanggan kamu yang lain juga main transfer?” tanya Nia. Mira bingung harus menjawab apa, apalagi wajah suaminya terlihat tak menyenangkan saat menatapnya. Namun, akhirnya Mira menggeleng juga.
“Enggak, mbak,” jawab Mira.
“Mas Tampan jadi pengecualian donk,” jawab Nia. Pemuda tampan itu merasa tak enak dan sungkan hingga ia akhirnya pamit undur diri lebih dulu. Mira pun kembali masuk ke dalam rumah setelah pemuda tersebut pergi.
“Dia kasih bukti kalau transfer?” tanya Nia, ia seolah tak mau memadamkan api yang mulai membakar pertanyaan-pertanyaan di benak Prima saat ini, pertanyaan yang akan membuat Prima curiga.
“Dia kasih bukti kok,” kata Mira.
“Lewat chat?” tanya Nia. Mira menatapnya intens tapi memilih tak menjawab ucapan Nia sama sekali.
“Mas, ayo makan,” ajak Mira.
“Nanti saja,” kata Prima seraya berlalu masuk ke dalam kamar. Mira menatap Nia yang tersenyum penuh kemenangan. Mira berusaha sabar dengan sikap Nia yang sekenanya itu, ia memilih mengikuti sang suami ke kamarnya.
“Mau mandi dulu, mas? Mira panaskan air, ya?” tawar Mira ramah.
“Nggak usah, aku mandi air dingin saja,” jawab Prima ketus.
“Mas marah?” tanya Mira. Prima menoleh ke arahnya.
“Uang yang aku beri ke kamu masih belum cukup buat kebutuhan sebulan? Bagaimana kalau kamu berhenti jual gorengan?” tanya Prima.
“Mas mau lebihin jatah bulanan buat Mira?” tanya Mira.
“Berapa yang kamu butuhkan buat sebulan?” tanya Prima.
“Jatah mbak Nia dan ibu, bagaimana?” tanya Mira. Mira sebenarnya ikhlas dengan berapapun pemberian Prima, hanya terkadang ia kesal dengan sikap kakak iparnya yang sekenanya pada sang suami sedangkan ia saja tak berani meminta-minta lebih ke sang suami karena takut menjadi beban di pundak suaminya.
“Aku akan kurangi jatah mereka, dan berikan lebih ke kamu,” kata Prima. Hati Mira menghangat mendengarnya, “tapi kamu harus berhenti jual gorengan. Lagi pula malu sama tetangga karena sekarang kan jabatanku di tempat kerja juga sudah bagus, Mira. Masak aku masih membiarkan istri mengotori tangannya dengan minyak dan tepung?” tanya Prima.
“Mira ikhlas cari nafkah buat keluarga kita, mas. Mas tahu itu, kan? Hanya saja ketika mbak Nia minta yang diluar kebutuhan mendesaknya ke mas Prima, Mira merasa kesal karena Mira kasihan pada Mas Prima yang banting tulang sampai tak pulang-pulang,” kata Mira. Kata terakhir dari Mira membuat hati Prima mencelos, pasalnya rasa bersalah karena mengkhianati Mira secara diam-diam itu menerebos keluar dari hatinya. Sebenarnya ia bisa sering pulang ke Malang, hanya saja ia enggan meninggalkan Julyana.
“Aku kerja juga buat kamu,” kata Prima seraya melepaskan kemejanya dan menunduk, menyembunyikan rasa bersalahnya dari Mira. Mendengar apa yang dikatakan oleh Prima itu, hati Mira menghangat, ia merasa bersyukur memiliki suami yang sangat bertanggung jawab padanya. Mira pun mendekat, mencoba memeluk sang suami dari belakang namun tiba-tiba tangannya yang hendak terulur itu berhenti di udara saat indra penciumannya mencium sesuatu di tengkuk sang suami. Aroma lembut yang menenangkan, seperti parfum miliknya. Indra penciumannya yang tajam saat hamil membuat Mira yakin bahwa aroma yang dihirupnya barusan adalah parfum lain yang tak biasanya sang suami kenakan. Terlalu lembut dan harumnya sangat membuat nyaman.
Prima berbalik dan melihat wajah sang istri yang tertegun, “kenapa?” tanya sang suami. Pertanyaan Prima itu membuat Mira tersadar dari lamunannya dan menggeleng cepat.
“Cepat mandi, mas, habis itu bagaimana kalau kita cari nasi goreng di luar?” ajak Mira. Prima tersenyum dan mengangguk. Prima berlalu dari hadapan Mira yang memandang punggung suaminya keluar dari kamar. Setelah pintu kamar di tutup, kemeja Prima yang ada di kedua tangan Mira itu ia ciumi dan parfum yang sama yang menempel di tengkuk suaminya menguar dari sana.
Mira masih ingat dengan jelas bahwa Prima menyukai parfum lembut miliknya yang selalu ia kenakan, tapi sejak kehamilan ini, Mira tak mengenakannya lagi karena aroma parfum yang kuat tercium di telinganya membuatnya mabuk dan pusing berhari-hari. Mira gegas beranjak ke meja riasnya, mengecek botol parfum di laci meja riasnya. Ia pikir, Prima mengambil salah satu botol parfum miliknya dan membawanya serta ke Surabaya, nyatanya botol parfum miliknya jumlahnya masih sama di laci meja riasnya.
Apa mas Prima beli aroma parfum yang sama dengan yang aku kenakan?
Mira mencoba mencari tahu, kali ini ia menggeledah tas kerja suaminya untuk menemukan botol parfumnya, tapi ia tak menemukan apa-apa selain kertas-kertas kerja dan laptop di sana. Saat ia akan menutup kembali tas kerja suaminya, matanya seolah menangkap sesuatu yang tertinggal dari penggeldahan yang ia lakukan, hingga akhirnya Mira membuka kembali tas kerja suaminya dan menemukan tiket nonton bioskop untuk dua orang pada minggu kemarin.
Mas Prima nonton bioskop? Sama siapa?


Air Mata Seorang IstriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang