Genta

333 62 3
                                    

"Sebelum berangkat ke Bandung, Om Dhika tau kan kalau kamu mau ke sini?" Diandra menatap Genta penuh selidik. Sambil menopang dagu dia tak sedikitpun mengalihkan pandangan dari anak semata wayangnya itu. "Gak kayak malam Rabu kemarin kan? Pulang ke sini gak bilang sekalian mau nginep. Om kamu sampai nelepon berkali-kali buat mastiin kalau kamu gak lagi kabur dari sana."

"Lagian mana ada sih orang pulang ke rumahnya sendiri dibilang lagi kabur? Aneh. Kecuali kalau aku itu narapidana baru dibilang begitu."

"Hus!" tegur Diandra sambil menutup bibir Genta. "Bibir kamu nih ya makin lama makin mirip aja sama papa kamu. Kalau ngomong suka ngasal, gak pake mikir."

Genta mengerutkan kening. Tangan kanannya bergerak menyingkirkan tangan Diandra dari bibirnya dengan halus. "Kenapa sih dikit-dikit harus banget dimirip-miripin sama papa?"

"Kamu gak suka?"

"Emang Mama gak gitu?"

"Maksudnya?"

"Mama juga gak suka kan kalau terus dimirip-miripin sama Oma."

"Kamu tuh ya kalau dibilangin."

"Nah kan!"

Mata Diandra berkedip cepat. "Semua orang pasti pernah ngomong gitu."

"Tapi gak semirip itu."

"Namanya juga anak dan orang tua. Wajarlah." Diandra berkelah.

"Udah ah aku mau balik lagi. Takutnya Oma mau pergi-pergi ke mana gitu." Genta sudah setengah berdiri dari duduknya tapi Diandra menahan tangannya, dia pun mau tak mau jadi duduk kembali. "Kenapa?" tanyanya sambil menatap wajah ibunya itu.

"Gak apa-apa," jawab Diandra sambil mengusap bahu Genta. "Mama cuma mau mengingatkan lagi kalau Tante Rani gak maksa kamu harus tinggal di sana sampai dia pulang lagi ke sini. Dia cuma minta kamu tinggal di sana selama kamu mau, kalaupun kamu udah ngerasa gak nyaman entah karena apapun itu kamu boleh pulang ke sini kapanpun kamu mau."

Genta hanya mengangguk sebagai jawaban kalau dia tidak lupa dengan pesan tantenya. Sekarang pun kalau saja omnya tidak sedang pergi ke luar kota, dia pasti menginap di rumah ibunya ini.

"Semalam Tante Rani bilang beberapa hari ini Om Dhika agak uring-uringan," lanjut Diandra. "Jadi Tante Rani minta maaf kalau-kalau selama kamu di sana ada kelakuan Om Dhika yang kurang mengenakkan."

Dahi Genta mengkerut. Seingatnya selain kasus barang-barang Ari, dia tidak pernah mendapat perlakuan tidak mengenakkan dari Dhika. Dan omnya itu tidak pernah menunjukkan sedang ada masalah juga. Tapi entahlah, dia kan jarang berinteraksi lama dengan omnya itu. Namun tidak dapat dipungkiri jika dia penasaran. "Emang gara-gara apa?"

"Masalah kerjaan sama masalah operasi Ari yang katanya mau diundur."

"Gara-gara operasi diundur?" Pada bagian itu jujur Genta tidak paham. "Bukannya itu udah dibahas dari Minggu kemarin ya? Ari bilang itu udah kesepakatan bersama, Om Dhika juga gak mau memaksakan kalau nantinya malah beresiko."

"Bukan sepenuhnya karena masalah jadwal operasi yang diundur sih. Tapi karena jadwal operasi Ari ternyata bentrok sama jadwal meeting-nya Om Dhika. Rencananya kan dia mau nyusul ke sana, sekalian jemput Tante Rani."

Genta mengangguk. "Padahal Ari nya sih santai-santai aja mau ditemani atau enggak sama mereka."

"Dia bilang gitu ke kamu?"

"Ya."

Diandra tersenyum lebar mendengar itu.

"Kenapa?" Genta terheran-heran.

"Gak apa-apa. Mama senang aja dengarnya, itu artinya kalian udah akur lagi."

"Kami emang gak pernah berantem," jawab Genta, cepat. Lalu bergegas bangun dari duduknya. "Aku balik sekarang ya. Kalau Mama butuh aku langsung telepon aja. Gak usah pakai acara nyindir-nyindir dulu di status WA."

There's something wrongWhere stories live. Discover now