Dhika

372 66 5
                                    

Sepasang kruk jadi benda terakhir yang akan Dhika pindahkan dari kamar Ari ke gudang. Menyusul beberapa benda lain yang sudah lebih dulu dipindahkan ke sana. Pekerjaan itu dia kerjakan sendiri, sementara sisanya biar nanti Sumi yang menyelesaikan.

Kamar ini sudah sangat bersih sebetulnya, Sumi tidak pernah absen sehari pun untuk membersihkannya. Hanya saja ada beberapa benda yang dirasa Dhika tidak harus ada di tempat itu lagi, salah satunya kruk.

"Ini beneran udah gak kepake kan, Bang?" Dhika mengarahkan kamera ponselnya pada alat bantu jalan itu. Agar seseorang yang sedang dihubunginya juga ikut memilih benda mana saja yang akan disimpan ke gudang.  "Sekarang apa lagi?"

"Coba ke pojok kamar dekat lemari."

Dhika pun menuruti, dia mengarahkan kamera ponselnya ke tempat yang disebut Ari. "Di situ gak ada apa-apa."

"Sebelum berangkat kayaknya aku nyimpen dua dus bekas knalpot di situ."

"Udah lama Papa buang," jawab Dhika, "buat apa coba nyimpen gituan."

"Bukan mau nyimpen, tapi lupa buang." Ari membela diri.  "Kayak Papa gak pernah lupa buang botol bekas oli aja."

Dhika berdecak. Dia tidak akan membiarkan Ari menang. "Kayak kamu aja yang buang itu botol oli."

Hening, Ari tidak membalas ucapan Dhika. Hingga beberapa menit membuat papanya itu heran sekaligus sedikit khawatir saat mendengar Ari terbatuk di sana. "Bang?"

"Ya."

"Papa udah bosen dari tadi liat langit-langit kamar," ungkap Dhika. Alih-alih menanyakan keadaan Ari yang pasti hanya akan dijawab baik-baik saja, Dhika pun akhirnya memilih mengatakan itu. "Buang-buang waktu tau gak, setengah jam video call cuma lihat lampu sama langit-langit kamar."

"Emang Papa ngarepnya lihat apa?" tanya Ari. Napasnya terdengar berat.

"Yang pasti bukan cuma lampu sama langit-langit kamar." Dhika terus mencari bahan obrolan untuk memastikan Ari baik-baik saja. "Emang lagi gak ada siapa-siapa di rumah?"

"Ada Mama, yang lain kayaknya lagi pada ke luar."

Hati Dhika mencelos saat itu juga. Bukan sebab mendengar jawaban Ari, tapi karena akhirnya dia dapat melihat wajah anaknya itu dengan jelas. Agak pucat dengan lingkar hitam di bawah matanya. "Masih gak enak badan?"

Ari mengambil jeda untuk menjawab, "masih, tapi udah baikan."

"Mana Mama kamu?" Kali ini Dhika tidak bisa menahan diri lagi. Dia harus mencari tahu tentang kondisi Ari yang sebenarnya. Dan hanya isterinya lah satu-satunya orang yang bisa menjawab rasa penasarannya itu.

"Tapi mau apa?" Ari sudah tahu betul jika Dhika sudah menanyakan Rani. Sudah bisa dipastikan dia akan  menginterogasi ibunya perihal kondisinya. "Mama lagi di dapur, gak mau diganggu," katanya.

Mau tidak mau Dhika pun harus memutar otak lagi. "Gak apa-apa, Papa cuma kangen. Emang gak boleh Papa kangen sama Mama?"

Ari berdecak. "Nanti aku bilangin."

Dhika mendengus. Jawaban itu sangat jauh dari harapannya. Tapi sekali lagi, Dhika tidak akan membiarkan Ari menang. "Coba samperin Mama ke dapur. Papa cuma mau lihat sebentar aja."

"Ya ampun, Pa. Sabar bisa gak sih?" Ari menggerutu sambil mengusap wajahnya. Dia mengabaikan perintah Dhika dan memilih bergulung selimut. "Udah aku bilang nanti aku kasih tau."

Mendapati kenyataan kalau Ari tidak menuruti permintaannya saja Dhika sudah cukup mendapat jawaban. Kalau dalam kondisi baik anaknya itu tidak akan mengabaikan perintahnya walau sambil menggerutu. "Bang?"

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 04 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

There's something wrongWhere stories live. Discover now