01

1.9K 230 67
                                    

Virella

"Ganteng, sih. Tapi, friendly."

Kalimat itu pertama kali gue denger dari Mona, pas hari pertama masuk semester lima.

Empat serangkai beranggotakan gue, Mona, Zenata, dan Jihan saat itu jalan bareng keluar fakultas di jeda perkuliahan, lagi mampir ke stand penjual takoyaki di deket gerbang, posisi di mana baliho gede bertuliskan Selamat Datang Mahasiswa Baru Institut Seni Indonesia berada.

Ada dua foto mahasiswa yang terpajang di sana. Dua-duanya adalah pemenang dari ajang pencarian 'wajah kampus' bertajuk Mas-Mbak Menyeni, katanya. Gue nggak begitu tahu. Nggak begitu update sama yang gitu-gitu.

Salah satu dari mereka—yang cowok—jadi bahan perbincangan kita yang lagi random aja tiba-tiba ngomongin soal desain baliho yang kesannya biasa-biasa aja itu.

Pertanyaan yang muncul di kepala gue saat itu cuma: emang apa masalahnya dengan friendly?

Menurut gue, friendly itu sebuah karakter yang menguntungkan pemiliknya karena mereka jadi punya banyak relasi, dan yang pasti nggak semua orang memiliki.

Sebagai salah satu orang yang nggak punya karakter itu, gue iri sama mereka yang friendly.

Gue iri sama Mona, gue iri sama cowok yang ditunjuk Mona, yang katanya friendly. Mona tahu karena dia dan cowok itu tergabung di dalam satu unit kegiatan mahasiswa yang sama.

Teater Koma namanya.

"Denger-denger juga gitu, sih," Zenata atau yang kerap kita sapa 'Jena' menimpali.

"Namanya juga 'wajah kampus', friendly itu harus," dibalas Jihan sambil ngunyah takoyaki yang barusan diterimanya dari abang penjual.

Gue, no comment. Memilih buat ngunyah takoyaki yang disuguhin Jihan ke mulut gue karena punya gue masih dipanggang.

"Btw, lo mau gabung ke teater lagi, Mon?"

"Yoi. Teater Koma bakal koma tanpa gue di dalamnya. Oh iya ... Rel!"

Atensi Mona pindah dari Jena yang barusan nanya menuju gue yang dari tadi banyak diamnya.

"Hm?"

"Gue baliknya nebeng lo, ya, nanti. Gue nggak bawa motor, nggak bawa helm juga. Tadi gue naik ojol. Motor gue lagi di bengkel, mati lampu depan."

Gue udah ngangguk dari sebelum Mona jelasin alasannya nebeng. "Beres kuliah langsung pulang 'kan?"

Kuliah hari ini full sampe jam empat sore. Ada tiga mata kuliah yang setiap pergantiannya ada jeda satu jam. Bakal capek banget kalo misalnya kita nongki-nongki dulu. Mona juga ngangguk pasti.

"Eh!"

Tapi kemudian senyum enggak enak ke gue. "Mampir ke sanggar gue bentar, ya, Rel. Gue mau naruh brosur, besok ke pake di parade. Males dibawa-bawa ke rumah."

Gue ini kalo nggak kupu-kupu ya kunong-kunong. Kuliah-pulang-kuliah-pulang sama kuliah-nongkrong-kuliah-nongkrong. Males kulor-kulor, kuliah-organisasi-kuliah-organisasi.

Walaupun gue belum pernah gabung, tapi denger cerita-cerita Mona, Jihan, sama Jena aja gue udah bisa bayangin se-enggak-enak apa gabung di dalam sebuah organisasi dengan banyak kepala manusia dewasa di dalamnya yang pasti beda kepala, beda pemikirannya, belum lagi ego masing-masingnya.

Iya, di antara empat serangkai, gue doang yang nggak gabung apa-apa selama menyandang titel mahasiswa. Ketimbang berorganisasi, gue lebih milih pulang ke rumah, ngelukis di kanvas atau di tab, mengasah kemampuan sembari mencari cuan.

FRIENDLYWhere stories live. Discover now