31

1.3K 204 162
                                    

Virella

Berdiri di depan gerbang rumah sambil nenteng totebag isi perlengkapan lukis. Ngamatin lalu lalang kendaraan di jalan. Ngeliat hape buat ngecek jam dan roomchat gue sama orang yang katanya lagi otw.

Ngeliat cincin yang akhirnya kepasang di jari manis kiri gue lagi setelah sempat gue balikin ke orang yang ngasih, sebulan lalu.

Ngeliat dia keluar dari mobilnya, jalan buru-buru nyamperin gue sambil nyibak rambutnya. Ganteng.

"Kenapa nggak nunggu di dalem aja, Rel? Panas gini, loh."

Dia yang sekarang berdiri di depan gue sambil nautin alis dan ngerutin dahi, gue kasih seulas senyum. "Nggak apa-apa, sinar matahari pagi 'kan baik buat badan."

Enggak ada respon. Mas Esa lebih milih narik tangan gue setelah bukain pintu mobil. "Lama, ya, nunggunya?"

Sekarang jam sembilan lebih sepuluh. Berarti dua puluh menit, gue nunggu dia yang hari ini janji nemenin gue ngelukis di studio kampus.

Masuk ke mobil, duduk, senyum. "Lumayan."

Enggak dikasih senyum balik. Mas Esa masih masang tampang sedikit bersalah banyak cemasnya. Lebih milih buru-buru ikut masuk ke mobil, ngambil tiga lembar tisu buat ngelap dahi gue yang berkeringat, terus nurunin suhu AC mobil biar lebih dingin.

Sambil nyetir mobil, "Maaf, ya, tadi sempet ketiduran. Semalem ngerjain projek film sampe jam tiga pagi."

Denger dia ngomong gini, gue jadi ikut ngerasa bersalah dan akhirnya jawab, "Nggak apa-apa. Kan emang hari libur harusnya buat istirahat. Justru aku yang maaf gara-gara ganggu waktu istirahat kamu."

Mas Esa noleh sekilas, senyumin gue. "Kayak sama siapa aja."

Manis, kayak biasa.

Gue bales senyumin dia. Ngebuang muka ke depan, liat jalan. Soalnya kalo liat dia lama-lama, takut makin cinta. Ironis, ya. Padahal dia cowok gue.

Tentang apa yang bikin gue takut, gue cuma balik lagi ke persepsi awal gue nerima dia jadi pacar.

Gue nggak mau berharap banyak ke dia. Nggak mau terlalu dalam punya perasaan ke dia. Nggak mau terlalu serius ngejalanin hubungan sama dia dan nggak berharap diseriusin. Nggak mau terlalu heboh, sekarah, serta nuntut ini-itu ke dia.

Gue nggak mau terlalu banyak kecewa.

Balik lagi, gue pernah bilang di awal, kalo berharap sama manusia itu rentan kecewanya, apalagi kalo manusianya modelan Mas Esa yang gue cukup tahu gimana-gimananya.

Iya, beberapa episode lalu mungkin gue sempet buta, sempet nggak jadi Virella yang sesungguhnya.

Jadi, sejak saat di mana gue memutuskan buat bertahan (lagi) sama dia, saat itu juga, di dalam berhubungan sama dia, gue mau sekedarnya-sewajarnya-sekucupnya. Pahit-manisnya, ditelan. Lebih-kurangnya, diterima.

Iya, harusnya dari awal sampai akhir gue statis kayak gitu.

Harusnya gue paham betul kalo merubah karakter seseorang itu nggak semudah membalikkan telapak tangan dan satu-satunya hal yang paling mungkin dilakukan setelah terlanjur ngomong 'iya, ayo pacaran' di tengah-tengah gempuran omongan negatif orang-orang tentang dia adalah ...

Ganesha emang gitu orangnya

... terima aja.

Ngusap kepala gue, senyum, ngebuka dashboard mobilnya, ngeluarin sesuatu dan ngasih itu ke gue "Nih!"

FRIENDLYWhere stories live. Discover now