PROLOG

126 16 2
                                    

“Berjanjilah untuk hidup dengan baik, Aruni.” Suara batuk yang kemudian terdengar setelah kalimat ini memenuhi kamar kelas tiga yang mereka tempati.

Gadis yang dipanggil Aruni, berdiri. Mengusap punggung wanita paruh baya yang terbaring di tempat tidur pasien. Dengan tangan kanannya, gadis itu meraih gelas di lemari kecil samping tempat tidur. “Udah Bunda, jangan banyak bicara dulu. Aruni selalu hidup dengan baik kok, Bunda.”

Wanita paruh baya yang berawajah pucat di atas bangsal, mencengkram tangan Aruni yang terulur untuk memberikannya minum. “Tidak! Bukan kehidupan menyedihkan kita. Kau harus—” untuk kesekian kalinya, wanita itu kembali terbatuk. Wajahnya memerah, tampak tersiksa hanya untuk berusaha menghentikan ketidaknyamanannya.

“Bunda—“

“Dengarkan aku!" Potong wanita itu, menarik napas panjang yang bahkan terlihat sulit. "Sepeninggalku, kau harus pergi—pergi menemui pria itu. katakan—Katakan kau anakku, Alisha Chandani.” Lalu episode panjang suara batuk yang berdahak tak berhenti terdengar. 

Namun Aruni, yang mendengar kalimat itu tiba-tiba membeku. Gadis itu tahu betul siapa yang ibunya maksud. ‘Pria itu’ pasti adalah ‘dia’, orang yang tak pernah Alisha sebut dalam enam belas tahun kehidupannya.

Tengah malam, hari itu, Alisha akhirnya menghembuskan napas terakhir. Meninggalkan Aruni tanpa kerabat ataupun saudara yang bisa membantu. Wanita itu hanya meninggalkan satu buku harian dan sebuah amplop tebal, dengan nama seorang pria di atasnya. Serta selembar kertas dengan alamat dan pesan bahwa Aruni harus mencarinya.

—itu adalah, ayahnya.

Wandering HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang