Ch. 3

51 10 0
                                    

Aruni sedang menyusun barang belanja yang memenuhi meja dapur, dan memasukannya dengan rapi ke dalam kulkas. Dia dan Bi Imah, baru saja pulang dari pasar, bahkan gadis itu belum menggati baju saat Rani memasuki dapur tampak terburu-buru. “Ada putu ayu tuh," ujar Aruni, meletakan telur di atas tray.

“Mbak Aruni! Di panggil Tuan ke ruang kerja!” seru Rani, tak memperdulikan putu ayu yang di katakan Aruni.

Aruni menatap gadis itu dengan mengernyit. “Kenapa?”

“Gak tahu, Mbak, yang jelas ada Nyonya sama Non Aileen juga.”

Itu membuat Aruni semakin bingung, tapi dia tetap menutup pintu kulkas dan mencuci tangannya di wastafel.

“Apa gara-gara yang tadi pagi ya?” Rani cemas, bibirnya sudah bergetar takut. “Tapi kok yang dipanggil Mbak Aruni, padahal Mbak Aruni kan gak ikut-ikutan. Aku sama Rita yang mecahin vas Non Aileen.” Tambahnya.

Bukan berita baru kalau Aruni selalu menjadi kambing hitam terhadap apapun yang terjadi di rumah itu. Seakan-akan, baik Donna maupun Aileen memang sengaja mencari-cari kesalahannya. Arsenio juga tidak membantu, bahkan tak jarang pria itu justru akan menghukum Aruni atas kesalahan yang bahkan bukan disebabkan gadis berambut panjang itu hanya demi menyenangkan anak dan istrinya.

Seluruh pekerja di kediaman Bramantyo tahu. Tapi meski mereka ingin menolong Aruni pun, mereka tidak punya kuasa. Hingga akhirnya, mereka hanya bisa melihat ketidak adilan itu tanpa bisa membantu.

“Gak apa-apa, mungkin mereka mau nyuruh aku ngerjain sesuatu." Aruni mengeringkan tangannya dengan tisu dapur dan membuangnya ke tempat sampah.

Gadis itu kemudian menuju ruang kerja, dengan mempersiapkan mental untuk apapun yang akan dia terima nanti. Lagipula apa alasan dia dipanggil kali ini pasti bukan sesuatu yang tak bisa dia tangani. Bukannya tiba-tiba dia akan dijual juga. Paling banyak mereka hanya akan memarahinya dengan alasan yang dibuat-buat sebagai pelampiasan stres, bukankah memang ada kejadian yang membuat mereka frustasi? Dia sudah biasa.

Mengetuk pintu jati ruang kerja yang di cat hitam, Aruni menghela napas saat suara berat dari dalam menyuruhnya masuk. Gadis itu membuka pintu dengan tenang.

Ruang kerja Arsenio Bramantyo besar, dengan setiap dinding terdapat rak buku kayu yang dipenuhi buku berbagai macam judul. Di tengah ruangan ada meja kecil yang di kedua sisinya terdapat sofa pendek untuk menjamu tamu. Saat ini di sofa itu, duduk Donna dan Aileen, yang menatap Aruni seakan ingin memakan gadis itu.

Di ujung ruangan, membelakangi jendela besar yang dibingkai gorden berwarna perak, Arsenio duduk di meja kerja dari kayu yang berpelitur hitam dengan lapisan kaca. Ada laptop yang terbuka, dokumen yang bertumpuk dan alat tulis lengkap di atas mejanya. Sementara itu, Arsenio yang melipat tangan di atas meja mengarahkan perhatian pada Aruni yang masih terpaku di depan pintu.

“Masuk, dan tutup pintunya.” Ujar pria itu.

Aruni mematuhinya, menutup pintu dibelakang tubuh, dia berjalan mendekati sofa, dan berdiri tak jauh dari Donna dan Aileen.

“Duduklah, Runi.”

Mendengar suaminya mengatakan itu, Donna mendengus dan membuang muka.

Aruni melirik wanita itu, lagipula dia tidak bisa duduk. Karena pilihannya hanyalah duduk di sebelah Donna atau di sebelah Aileen yang tengah berhadap-hadapan. Jelas itu bukan pilihan, karena tak satupun dari mereka akan mengijinkan Aruni duduk di sebelahnya. “Tidak apa-apa, aku berdiri saja. Ada apa Papa memanggil?” Sebenarnya, tak banyak waktu Aruni memanggil Arsenio Papa, jadi mencicipi kata itu pada lidahnya terasa janggal.

Wandering HeartWhere stories live. Discover now