Ch. 1

85 16 0
                                    

Arunika menggunakan handsfree dengan volume maksimal, padahal lagu yang di dengarnya hanyalah berupa instrument klasik. Di tangan kanannya, gadis itu mengoyang-goyangkan pulpen di antara jari, sementara dia menatap buku teks sambil berpikir. Besok ada kuis, dan dia harus mempersiapkan diri.

BRAK!

"RUNI! DENGAR GAK SIH DARI TADI DIPANGGILIN!"

Aruni yang tersentak karena pintu kamarnya yang terbanting terbuka, kini menepuk-nepuk dada untuk menenangkan jantung karena teriakan seorang gadis yang baru saja menerobos masuk.

Itu adalah Aileen, adik tiri satu-satunya yang di anggap putri raja di rumah ini.

"Ada apa?" Menarik kabel handsfree yang dia gunakan, Aruni memutar kursi untuk berhadapan dengan Aileen.

Aileen menatap Aruni kesal, memukul meja dengan keras, dia berdiri bertolak pinggang di hadapan Aruni. "Gue udah manggil lu dari tadi, dan bahkan suara gue sampai serak. Tahu?!"

Mengelola kesabarannya, Aruni menarik napas. "Ok, gue salah karena gue gak denger lu manggil gue. Jadi, kenapa lu nyari gue?"

Aileen memutar matanya dengan kesal, "Pergi ke butik La Belle, dan ambil gaun pesanan gue. Besok malam mau gue pakai."

Aruni melirik jam di atas meja belajarnya, ini sudah jam delapan. "Ini udah malam, Leen, besok aja gue ambil ya? Pulang kuliah. Lu pakainya malam kan?"

"Gak bisa! Harus malam ini! Besok gue sibuk, dan gue butuh gaun itu buat nyocokin riasan gue." Ucap Aileen dengan nada yang tak bisa di bantah.

Sebenarnya, Aruni tahu betul watak adik tirinya ini. Jika Aileen menginginkan sesuatu, apapun itu harus ada, meski jika itu adalah hal yang mustahil. Aruni tak pernah menolaknya, bukannya dia tidak mau tapi karena tidak bisa. Bagaimanapun, hidupnya di rumah ini hanya menumpang, dan Aileen adalah pemiliknya. Jadi dia bisa apa?

Menghela napas pasrah, akhirnya Aruni menutup buku dan mencabut handsfree yang terhubung ke ponselnya. "Oke, gue siap-siap dulu. Lima belas menit lagi gue berangkat."

Aileen puas, jadi kemudian gadis dengan rambut sepinggang itu berbalik, tak lagi memperdulikan Aruni. Namun di lorong depan, dia berteriak, "Cepat! Jangan sampai butiknya tutup dan gue gak dapat gaun itu malam ini. Kalau sampai itu terjadi, awas aja!"

Aruni memutar mata, dan menutup pintu yang tak di tutup Aileen.

Enam tahun dia tinggal di rumah ini, Aruni masih ingat bagaimana dia datang dengan basah kuyub karena hujan hari itu. Awalnya, satpam di depan gerbang mengusirnya menganggap dia pengemis. Tapi kemudian takdir membawanya ke depan mobil Arsenio Bramantyo, ayahnya.

Ada pertengkaran hebat di keluarga Bramantyo sebelum akhirnya Aruni di akui dan di ijinkan untuk tinggal. Perselingkuhan Arsenio jelas melukai istrinya, namun ketegasan pria itu masih mampu menundukan wanita yang telah dia nikahi selama belasan tahun.

Aruni tidak tahu apa yang ditulis ibunya di dalam surat yang dia berikan kepada kepala keluarga Bramantyo hingga dia mau mempertahankan Aruni. Namun meski dia tahu hidupnya akan sulit setelah ini, dia tidak punya pilihan selain mencari pria itu. Bukan karena dia mengkhawatirkan tempat tinggalnya saja, tapi Aruni terlilit hutang yang harus dia lunasi karena biaya pengobatan ibunya. Belum lagi dia masih sekolah, dan dia tak ingin mengecewakan ibunya dengan putus sekolah. Karena itu, meski ini adalah pilihan yang sulit, Aruni tetap memilih untuk bertahan.

Lagipula, ini adalah satu-satunya wasiat yang ibunya minta. Hidup dengan baik, dan datangi ayah kandungnya.

Mengikat rambut menjadi ekor kuda, Aruni kemudian mengganti pakaian tidur dengan kaos hitam dan jeans biru. Gadis itu kemudian mengambil dompet dan ponsel yang dia selipkan di kantong celana, Aruni pergi ke bagian belakang rumah, tempat para pembantu dan supir tinggal.

Wandering HeartWhere stories live. Discover now