The First Wound I Saw

26 8 12
                                    

Surround yourself with people who will help you when you don't know how to ask for help.
Preety Duta

Kami pulang pukul sembilan malam. Waktu itu kami habiskan dengan berbincang-bincang, dan aku mengetahui banyak hal tentang Merdy.

Sebenarnya, keluarga Merdy itu luar biasa. Tidak semua orang memiliki orang tua yang memiliki aliran seni seperti mereka—tidak banyak manusia yang menerima diri mereka sendiri dan mengembangkannya bersama. Aku belum pernah bertemu kedua orangtuanya, tapi dari Merdy, aku yakin kalau mereka tak jauh berbeda dari Merdy: eksentrik.

Beberapa hal lagi yang kutahu, dari ayahnya, Merdy suka bernyanyi. Dia suka berdansa, dia menyukai banyak hal yang tak banyak disukai banyak orang seusia kami. Dia bahkan menguasai teknik berkebun, menyusun bunga, menyulam, tetapi Merdy cukup buruk dalam memasak.

Hari ketiga kami berteman, aku pernah bercanda padanya tentang perempuan itu harus pandai memasak, tetapi dia membalas candaanku itu dengan mengatakan, tidak apa-apa perempuan belum bisa memasak, lagi pula tidak semua laki-laki pandai membersihkan rumah, bertanam, menurunkan salju, mengangkat mobil, memindahkan gunung.

Selera humornya benar-benar luar biasa.

Merdy mempelajari itu semua semata-mata hanya untuk Ben—Bentala Aster—adiknya. Karena pertengkaran sering terjadi dan Merdy sibuk sekolah, tidak ada yang bisa menemani Ben, akhirnya Ben dititipkan di rumah neneknya dan pulang seminggu sekali. Ketakutannya sama denganku. Aku takut adikku mengalami hal-hal mengerikan, mendengar yang tidak-tidak, di dalam rumahnya sendiri.

Bagi Merdy, dunia kecil yang dibuatnya dengan hebat, semuanya akan didedikasikan untuk Bentala Seorang.

Ben adalah pangeranku, Ali, katanya hari itu, dengan senyum hangat terpasang di wajah sembari membuat buket bunga.

Hari-hariku bersama Merdy sungguh menyenangkan. Bersamanya aku seolah bertualang ke negeri dongeng, ke alam antah-berantah yang jauh dari bayanganku sebelumnya; penuh dengan sihir, penuh dengan hal-hal ajaib. Meski di dunia ini tidak ada sihir, tetapi pikiran Merdy yang suka membaca dan seorang moviegoers itu mengenalkanku pada hal-hal ajaib. Beberapa kali dia menyimpan gula dan mentega di depan pagar, aku bertanya untuk apa, dia menjawab, untuk para peri.

Aku menyaksikan keseriusannya itu dengan senyum di bibirku yang terlukis tanpa diduga.

Sungguh, aku menantikan banyak petualangan baru dengannya.

Namun, hari itu, setelah satu bulan berlalu, untuk kali pertama Merdy tidak masuk sekolah.

***

Musim panas telah jumpa, murid-murid mulai mempersiapkan diri untuk liburan. Ada yang katanya akan ikut les, ada yang bilang akan pergi ke negara tetangga untuk liburan, ada juga yang akan menghabiskannya dengan bermalas-malasan. Aku ingin tahu apa rencana Merdy, tetapi dia tak masuk.

Duduk sembari memegang gitar di tangan karena hari ini kelas kosong, beberapa murid dari kelas sebelah datang. Itu gengnya Sofia.

Lindel Ancelot—salah satu siswa yang dekat denganku di kelas, mulai merapikan diri. Dia menyisir rambutnya dengan tangan dan menyemprotkan parfum. Dua orang lainnya yang berada di dekatku, Alvin Rutger dan Cello Clooney, berdeham berbarengan sembari merapikan seragam mereka.

Aku tidak peduli, kembali memetik gitar, membenarkan beberapa senar yang longgar. Gitar ini jarang dipakai, suaranya jadi aneh.

"Halo, Alister."

Suara yang terdengar manis itu memanggilku. Siapa lagi kalau bukan Sofia? Lantas aku mengangkat wajah, dan kulihatlah seorang gadis tinggi semampai berkulit kuning langsat, memiliki rambut keriting blonde sebahu. Wajah cantik yang memang biasanya menjadi tokoh utama di dunia persekongkolan seperti ini.

Kita Akan Selalu Kembali Untuk Pulang [PROSES TERBIT]Where stories live. Discover now