Epilog

18 3 4
                                    

Goodbye may seem forever,
farewell is like the end.
But in my heart is a memory,
and there you will always be.
Unknown

Itu kejadian lima tahun lalu. Sepenggal kisah dari pertemuanku dengan Merdya Aster, sesosok gadis sehangat mentari, gadis musim semi yang ternyata dicintai semua orang. Gadis yang bermimpi ingin menjadi seorang balerina dan apa pun yang menarik di kepalanya, gadis yang memiliki dunia dan seorang ratu di sana. Dia memegang kekuasaan, kendali, peraturan untuk dirinya sendiri. Gadis yang membuatku kagum, gadis yang tangguh, gadis yang banyak terluka dan gadis yang gemilang.

Merdya Aster. Aku merindukan sosoknya.

Sekarang aku kembali ke Brig setelah hari itu. Aku kembali ke Brig sendirian, karena Brian juga sekarang sudah menikah. Ayah dan ibuku berdamai. Aisha kembali sekolah dan dia sekarang memiliki banyak teman.

Entah apa dunia memang selalu seperti ini; memberikan kejutan. Aku merasa bahwa kadang aku tak layak, tapi beginilah adanya.

Aku mengikat satu rambutku yang sudah panjang dan menghela napas. Lagi-lagi musim dingin, aku kembali ke sini saat salju sudah turun. Karena tak punya waktu, sibuk kuliah.

Mataku mencuri pandang ke rumah sebelah, ke Rumah Jamur yang tampak kosong. Tapi di atapnya terdapat asap perapian yang keluar-bisa jadi mereka ada di dalam, tengah bercerita, berbagi kehangatan.

Aku tersenyum kecil, lalu berjalan-jalan sejenak. Menuju jembatan yang dijadikan Merdy sebagai tempat di mana dia pertama kalinya menunjukkan sisi sedih padaku, melewati kursus balet yang sekarang sudah berubah menjadi mall, menuju sekolah yang masih sama seperti dulu-dan aku masuk ke dalam hutan.

Kakiku berjalan pelan, sembari merasakan empuknya salju yang terinjak. Aku juga mengeratkan syal, tahun ini sangat dingin dibanding tahun-tahun kemarin. Pohon-pohon pinus yang menjulang ternyata masih sangat cantik dan banyak. Ada tupai, beberapa burung putih jepang yang hanya ada di bulan Desember, dan rusa salju. Aku berjalan pelan, menikmati pemandangan pagi hari.

Oh iya, aku juga menenteng sepatu untuk ice skating, kupikir danau dekat Tempat Rahasia itu membeku.

Lantas aku terus berjalan hingga menemukan cahaya matahari semakin menerobos masuk ke dalam hutan. Sisi terang. Benar saja, danau itu sudah membeku. Aku ingat saat kami melakukan piknik kecil bersama-sama di sini, bersama gadis itu. Aku merindukan surai merah bergelombangnya. Sungguh.

Kupikir tak ada siapa-siapa, ternyata ada seorang gadis tengah bermain ice skating di sini, sendirian. Oh, ditemani oleh seseorang-dari kejauhan. Dia tampak familier.

Ketika laki-laki itu menoleh ke belakang dan bertemu denganku, beradu pandang, senyumnya merekah dari wajah.

Itu Bentala. Ben.

"Kak Ali!" Suaranya menggemakan hutan. Mendengar lengkingan ceria itu membuat senyumku ikut merekah.

"Hai, Ben. Sudah lama kita tidak bertemu." Aku berjalan, mendekat ke arahnya. "Kamu tumbuh besar."

Dia menjadi agak tinggi-rambutnya pun keriting, bahunya lebih lebar, sepertinya dia melakukan olahraga teratur. Gagah, tegap, meski wajahnya imut-imut seperti anak SD.

Ben terkikik. "Aku kan manusia, memang bertumbuh dong. Apa kabarmu?"

"Baik. Bagaimana kamu?" Mataku melirik pada gadis yang sibuk bermain ice skating. "Siapa dia?"

"Oh, itu kak Sofia."

Mendengar namanya disebut, gadis itu-gadis yang seumuran denganku, dengan rambut pirang yang dipotong pendek dan memakai kupluk merah serta syal kotak kuning-merah, menoleh, menatap pada kami. Kulihat semburat merah di pipinya merekah, dia memalingkan pandangan sembari mendekat.

"Em, halo, Ali." Suaranya jadi lebih dewasa. "Lama tidak jumpa."

Aku tersenyum. "Ya. Kamu bermain ice skating? Kulihat kamu agak kesulitan."

"Ben mengajariku." Kini dia menatap mataku. "Dan Ben juga memberitahuku tentang Tempat Rahasia."

"Kak Merdy bilang, aku bebas melakukan apa saja di sana, jadi menurutku kak Sofia mesti tahu dunia kak Merdy. Karena di dalam sana juga banyak kenangan kak Sofia." Ben menganggukkan kepalanya. "Lagipula, ternyata kak Sofia tahu lebih dulu mengenai tempat ini dibanding kita."

Aku terkejut. "Oh ya?"

Sofia mengangguk. "Iya. Kami dulu sering bermain ke sini sebelum Ben lahir. Kami bermain dengan paman Dick, bermain petak umpet atau bahkan berlagak menjadi detektif Conan. Dulu di sini perahunya ada dua, tetapi satu lagi hancur."

Begitu. Sofia memang sahabat Merdy sejak kecil, tapi karena Sofia berpikir Merdy merebut segalanya, dia menghindar dan melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan pada gadis itu. Tapi sekarang dia menyesal. Tampak jelas dari wajahnya.

"Aku merindukannya." Sofia menunduk. "Aku sering kemari dan menjaga Tempat Rahasia saat Ben tidak ada. Aku bahkan memotong rumput dan juga memberikan makanan. Bukankah aku rakyat yang baik hati?"

Aku tertawa. "Aku juga rakyat di sana. Hanya Ben seorang pangeran dan Merdy ratunya."

Sofia ikut tertawa. "Jadi kamu mau main ice skating juga? Apa kamu bisa? Kulihat kamu membawa sepatunya." Gadis itu melirik bawaanku.

Aku mengangguk. "Uh, ya. Aku bisa." Aku pun duduk dan mulai memakai sepatuku, berseluncur pelan di atas danau yang membeku.

"Ben bisa bermain juga?"

"Kamu menangangku?" Ben terkikik, lalu dia berputar-putar dan mengulurkan tangannya. "Ayo main bersama."

Aku menatap ke arah Sofia yang tersenyum juga menatapku, lalu menganggukkan kepala bersama. Kami bertiga pun bergenggaman tangan, bermain ice skating.

Di Tempat Rahasia.

***

Orang bilang, manusia itu dibagi menjadi dua kategori; mereka yang hidupnya terkekang; mereka yang hidupnya bebas. Mungkin aku termasuk orang yang terkekang. Segala sesuatunya harus sesuai dengan kemauan orang tua. Mulai dari sekolah, kesukaan, bahkan pelajaran-pelajaran yang memuakkan----mau tak mau aku harus bisa dan berhasil mencetak skor sempurna. Lama-kelamaan, hal-hal ini menjadikanku pandai berbohong. Aku bisa mengatur ekspresi di depan banyak orang, menjadi pandai dalam bersikap, membuat orang-orang merasa aku adalah orang yang terbuka, padahal tidak.

Namun, bertemunya aku dengan seorang anak perempuan cupu di kelas baru, membuat semua tebing yang dibangun dengan susah payah agar tidak ditembus orang lain itu runtuh.

Merdya Aster mengetahui semuanya.
Kebohongan-kebohongan itu, luka-luka itu, seolah meski aku tidak membicarakannya pun dia bisa tahu hanya dengan mengamati. Meski begitu aku tidak membencinya, karena Merdya Aster mengubahku untuk dapat menerima kenyataan, berdamai dengan keadaan, padahal daripada aku----dia adalah seseorang yang lebih banyak terluka.

Merdya Aster mengajariku untuk menerima semuanya, untuk tidak selalu lari, dan bilang bahwa ke mana pun aku pergi pasti aku akan kembali untuk pulang.

Namun, siapa peduli? Merdya Aster mengajariku untuk jujur, tapi dia juga menyimpan kebohongan besar yang tak dapat ditebak atau diketahui siapa pun.

Ya, itu yang kupikirkan, sebelum aku tahu alasan-alasan di baliknya mengapa dia begitu, ternyata di dunia ini banyak yang mencintai sosoknya. Merdya Aster tidak akan pernah dilupakan oleh siapa pun.

Ke mana pun dia pergi, Merdy akan selalu ada di sisi kami, di hatiku, meskipun sosoknya tak terlihat sekali pun itu.

Kita Akan Selalu Kembali Untuk Pulang [PROSES TERBIT]Where stories live. Discover now