Different World

15 4 3
                                    

From a broken soul,
blooms a warrior.
Mandy Antoniacci

Sama sepertiku, Merdy juga membenci kejutan. Ada banyak hal di dunia ini yang tidak bisa dibercandakan oleh takdir—entah suatu kebetulan, atau memang ini yang sudah semesta siapkan untuk kami. Aku tak pernah sekali pun meminta agar keluargaku dapat seperti orang lain, aku hanya meminta agar mereka—orang-orang di sekitarku—tidak terluka.

Kenapa menginginkan kebebasan itu begitu memilukan?

Apa yang barusan dikatakan ibu Merdy terdengar jelas oleh telingaku. Perkataannya yang tentu saja tidak ingin Merdy setujui. Namun, lagi-lagi, aku tidak pernah dapat menebak apa yang Merdy pikirkan. Aku tidak pernah tahu isi kepala kecilnya itu apa saja. Apa yang akan dia utarakan, apa yang dia rasakan, apalagi yang dia sembunyikan.

Merdya Aster penuh dengan rahasia.

"Apa Ibu yakin?" Gadis itu bertanya tanpa nada menyesal sama sekali. Tanpa amarah. Seolah dia menerimanya jika ibunya mengiyakan. "Apa Ibu bisa menyayangi kami sepenuhnya jika bercerai?"

Aku dapat melihat tatapan ibu Merdy menghangat, alisnya mengkerut, hingga sejurus kemudian bulir-bulir air mata pun turun dari pelupuk matanya. Tangannya terbuka, memeluk Merdy dan Bentala. Ini kali pertama buatku melihat pemandangan yang begitu menyayat hati—di mana seorang anak di dunia ini yang setuju dengan perceraian kedua orang tuanya? Mungkin ada jika mereka memang tidak becus menjaga keluarganya, sering bertengkar seperti keluargaku, tapi aku yakin dalam lubuk hati mereka yang terdalam—tidak pernah ingin menyetujui sebuah kata perceraian.

Tentu saja berlaku untukku dan Merdy.

"Ibu berjanji akan menyayangi kalian," jawab ibunya dengan suara parau yang menahan getir. "Maafkan ibu sering pergi meninggalkan kalian, tapi seperti yang Merdy tahu, Ibu tidak benar-benar meninggalkan kalian."

Merdy lebih dulu melepaskan pelukan, tangannya yang kurus itu bergerak membelai pipi ibunya, lalu menyeka air mata di sana. Senyumnya tipis, tapi aku mengerti arti senyum itu.

Tidakkah ibunya merasakan ada yang aneh dari Merdy? Tidakkah ibunya tahu bahwa gadis itu sedang sakit?

"Kalau dengan perceraian ini ibu bisa lebih bahagia begitu juga ayah, aku tidak masalah. Kalau dengan perceraian ini Ben dapat terus bersama ibu, aku akan senang sekali."

"Ya. Lalu kamu bisa kursus lagi, bisa melakukan banyak hal yang Merdy suka. Begitu juga Ben." Ibunya mengelus puncak kepala Ben. "Karenanya, tunggulah ibu sebentar lagi."

"Apa Ayah tidak akan ikut?" tanya Ben, membuat ibunya kembali memeluk anak laki-laki itu. Pelukannya erat, dan berkali-kali ibunya bilang, maafkan aku, Ben, maafkan aku.

Dapat terlihat dari sini, meskipun ini bukan percakapan yang menyenangkan, tapi hangat. Kupikir ibunya benar-benar tak peduli, tapi ternyata aku salah. Ibu Merdy begitu sayang padanya, tapi karena Merdy berusaha keras untuk menutupi semua masalahnya—membuat ibunya menjadi sosok yang dapat disalahkan sebagai orang tua. Suasana rumah Merdy pun jelas jauh berbeda dari rumahku. Di sini hangat, begitu hangat.

Sedangkan rumahku sangat dingin. Menurutku tidak cocok disebut sebagai rumah.

Usai kejadian tadi, ibunya kembali pamit pergi meninggalkan aku, Merdy, dan Ben di kamar Ben. Aku jadi tak banyak bicara, memikirkan kenapa Merdy bisa dengan mudahnya menerima hal itu.

Kenapa dia bisa selalu tampak berdamai dengan keadaan?

Ketika aku bertanya demikian, Merdy tersenyum dan menjawab, tidak ada gunanya buatku untuk melawan, kalau ini adalah hal yang baik untuk mereka, kenapa tidak aku setujui saja?

Kita Akan Selalu Kembali Untuk Pulang [PROSES TERBIT]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora