Chapter 5

20 8 43
                                    

Pangeran Wikanta mengenang hari yang berliku-liku sambil bersandar di pembaringannya. Suasana riuh dan huru-hara hari itu meninggalkan bekas kepayahan di rautnya. Satu hembusan nafas panjang terlepas, melepaskan beban yang terpaut di dadanya.

Baginda merasa teramat lelah, lebih dari sekadar kepayahan jasmani. Batinnya bergolak dalam pertempuran antara kewajiban sebagai calon raja dan perasaannya sebagai seorang laki-laki yang mengalami kisruh batin. Apakah ini hanya letih jasmaninya atau juga letih jiwanya?

Pangeran Wikanta berupaya memisahkan dua kepayahan tersebut, bagaikan berupaya memisahkan cahaya mentari yang merah di cakrawala dari rona senja yang merona di langit. Namun, batas di antara keduanya samar, mengguncang hatinya.

Kakaknya menjadi raja—impian besar yang kini menjadi kenyataan. Baginda bersedia untuk itu, dan melihat ayahanda dan ibunda dapat beristirahat dari beban tersebut, memberinya kepuasan dan rasa hormat. Namun, pertunangan dengan Putri Sundari, perempuan yang telah lama dikenal dan akrab baginya, membawa nuansa kebahagiaan yang lain.

Dalam keputusan ini, Pangeran Wikanta menemukan kelegaan dan kegembiraan. Putri Sundari, dengan segala kebaikannya—keberanian, kecantikan, keanggunan, dan pemahaman—adalah pilihan yang diinginkannya. Hubungan persahabatan yang mereka bina sejak kecil tumbuh menjadi lebih dalam, mengukir hubungan yang kuat dan bermakna.

Pangeran Wikanta memikirkan betapa beruntungnya dirinya. Dialog batinnya memenuhi keheningan kamar, “Hamba bersyukur atas keputusan ini. Putri Sundari, terima kasih paduka atas kesungguhan menerima pinangan hamba yang mengubah angan menjadi kenyataan.”.

Mata Pangeran Wikanta terpaku pada cincin di jarinya, senyumnya mengembang, menatap ikatan nan suci di dunia ini: ikatan perkawinan. Pada hari ini, langkah-langkahnya seakan membawanya menuju surga, berdiri di batu pertama di lorong yang mengantarkannya ke gerbang yang sama. Lorong bunga yang indah itu melambangkan perjalanan menuju surga asmara.

Namun, meski dikelilingi oleh keindahan di sekitarnya, hati Pangeran Wikanta tenggelam dalam renungan. Tidak ada tanda-tanda cinta selain ikatan persahabatan yang kokoh. Namun, dalam hatinya, ia bertanya-tanya, apakah cinta tidak sesekali bermula dari persahabatan? Mungkinkah ini adalah saat yang tepat untuk mencoba?

Senyum lembut menghias wajahnya, tetapi Pangeran Wikanta tidak mengetahui pintu biliknya terbuka dan Puteri Gayatri, kakak iparnya, masuk.

“Kenapa harimau kecilku senyum-senyum sendiri begitu? Apa kau sedang tersipu malu?” Puteri Gayatri menyapa, menarik pangeran dari lamunannya. Dengan duduk di pembaringannya, dia menatap saudaranya dengan pandangan penuh kelicikan.

“Aku tidak,” sang pangeran berusaha menyembunyikan senyumnya, tetapi Puteri Gayatri mengusik, “Tentu saja kau, harimau kecil.”

Pangeran Wikanta mengeluh dan bertanya, “Cukuplah, kak. Apa yang membawamu kemari?” Puteri Gayatri tertawa mendengar kekonyolannya, menepuk pipi pangeran, yang membuatnya cemberut. Pangeran Wikanta, dalam pandangan Puteri Gayatri, adalah makhluk paling menggemaskan yang pernah ada.

“Aku hanya menanyakan satu hal, Wikanta. Apakah kau bahagia?” Pangeran Wikanta menatapnya bingung, dan jawabannya bergema dengan kepastian, “Mengapa aku tidak bahagia denganmu, kak? Tentu saja aku bahagia.”

Puteri Gayatri menghela nafas, membalikkan tubuhnya, dan berkata, “Aku tahu kalian berdua tidak memiliki cinta sebagaimana yang kau bayangkan, Wikanta. Aku tahu kau tidak merasakan percikan itu, jadi kurasa kau mengorbankan kakak-“

Ucapan Puteri Gayatri terhenti ketika Pangeran Wikanta meletakkan jarinya di bibirnya, berkata, “Dengarlah, kak. Aku mengakui, aku mengharapkan diriku jatuh dalam cinta yang indah dan perlahan, kemudian menikahi orang itu. Tetapi tidak selalu mendapatkan apa yang kau inginkan dari hidup, dan aku sudah menerima kenyataan itu, kakak. Mungkin akan ada saatnya aku merasakan hal yang sama pada Sundari. Aku hanya perlu memberikan waktu dan mencobanya. Selain itu, dia adalah pasangan yang sesuai untukku, bukan begitu?” mendengar perkataannya, Puteri Gayatri tersenyum.

Puteri ShintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang