Chapter 7

2 0 0
                                    

Dengan jejak yang lembut bagaikan hembusan angin di atas jalan yang berkelok-kelok di tengah hutan yang rimbun, Yang Mulia Pangeran Wikanta merasa dirinya terangkat bagaikan awan yang melayang di langit kebahagiaan. Pandangannya terpaku pada wujud putri cantik yang berjalan di sisinya, tak mampu ia lepaskan sekalipun hanya sesaat.

Hati Yang Mulia Pangeran Wikanta bergetar bagaikan daun yang ditiup angin melihat Puteri Shinta dan Ekalaya terjalin dalam percakapan yang penuh dengan tawa dan guyonan. Siapakah yang dapat menolak pesona putri jelita dan kesatria gagah itu? Dengan lincahnya, Pangeran Arjuna meremas pipi Puteri Shinta, sementara sang puteri hanya bisa tersipu malu, memandang dengan pandangan yang penuh cinta.

Pangeran Satriya, dengan segala keperkasaannya, merayu keanggunan Puteri Shinta dengan kata-kata yang penuh pesona. Senyum yang memikat menghiasi wajah sang puteri, memberikan respon hangat terhadap pujian yang meluluhkan hatinya. Namun, di tengah-tengah keceriaan itu, Pangeran Wikanta terjerat dalam perasaan yang tak seharusnya, terombang-ambing dalam pesona yang tak terbendung.

Dalam keriuhan dan kegembiraan itu, Pangeran Wikanta merasa ada sesuatu yang aneh dalam pandangan Puteri Shinta. Raut cemburu Pangeran Wikanta tersembunyi dengan samar di dalam mata sang puteri, seolah-olah mengungkapkan sesuatu yang terpendam. Hati Pangeran Wikanta berdegup semakin cepat, dan tanpa disadari ia mencari pandangan mata Puteri Shinta untuk memastikan perasaannya.

Pangeran Satriya, dengan jiwa yang penuh keingintahuan, mengubah alur percakapan. “Wahai kalian berdua, tidakkah kalian berkenan menceritakan bagaimana pertemuan yang tak terduga ini terjadi?” ucapnya sambil memandang mereka dengan pandangan tajam yang memancar dari matanya. Pangeran Wikanta menoleh sejenak, lalu menatap Puteri Shinta yang menyimpan cerita yang penuh warna dalam mata indahnya yang tersembunyi.

Wajah Yang Mulia Pangeran Wikanta bersinar-sinar terang ketika ia mengingat kembali peristiwa di hari yang agung saat pertunangannya. Sang Puteri Shinta, dengan kegembiraan yang meluap-luap, melompat-lompat dengan riang dan membawa kenangan yang tak tergoyahkan di dalam hati Pangeran Wikanta.

“Puteri Shinta melangkah anggun ke hadapan saya pada saat itu, memberikan ucapan selamat atas pertunangan saya dan Puteri Sundari,” ujar Pangeran Wikanta dengan tatapan tajam yang menembus jiwa Pangeran Arjuna, yang menjawab dengan kerut di dahinya. Suara Pangeran Wikanta terdengar bagaikan melodi kenangan yang mengalun indah, mengisi ruangan dengan keharmonisan yang tak tertandingi.

“Ah, sungguhkah, begitu banyak tamu yang hadir pada hari itu, namun engkau hanya mampu mengingat Puteri Shinta,” ujar Pangeran Arjuna dengan nada iseng yang terselip di antara kata-katanya. Pangeran Wikanta merasa canggung dalam hati, mengeluh pada sahabat-sahabatnya yang tampak terlalu kritis dalam menilainya.

“ada ribuan insan yang hadir pada saat itu, namun hanya Puteri Shinta yang memenuhi pikiranmu,” kata Pangeran Arjuna dengan senyum jenaka yang tersembunyi di balik ucapannya. Pangeran Wikanta merasa agak malu-malu, berkeluh pada kawan-kawannya yang tampak begitu cerdas dalam memperhatikan.

“Sesungguhnya, dalam ingatan saya, mereka adalah seperti gemintang yang berkilau di langit senja yang kelam. Saat itu, saat mukjizat cinta menyelimuti diri saya, setiap insan yang hadir menjadi cahaya-cahaya yang menyinari lintasan hidupku,” tutur Pangeran Wikanta dengan pandangan mata yang penuh arti, seakan-akan mengutarakan sesuatu yang tersembunyi.

Pangeran Arjuna sang pemegang hikmah dengan keahliannya yang tak terkira dalam menafsirkan suasana, melemparkan senyum nakal yang memikat, sebelum ia berhenti sebentar. Dalam perjalanan mereka yang tak terputus, mereka meninggalkan sehelai kisah yang teranyam di belakang, yang terbawa oleh hembusan bersama dengan harum bunga yang semakin pekat.

*****

“Paduka, kami digempur!” laung seorang laskar, mengusik kedamaian istana tanpa hormat. Sang Prabu, yang tengah larut dalam bacaan di singgasana, memalingkan wajah ke arah prajurit yang berlari tergesa-gesa.

Puteri ShintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang