Chapter 17

15.7K 2K 481
                                    

Sorry for typo!

****

Lily's POV

"Kau penasaran, Lily. Dan rasa penasaranmu menjadikanku korban di sini. Setelah rasa penasaranmu sirna karena sudah berhasil menjeratku, kau pun berkehendak membuangku begitu saja. Lily, itu jahat, Sayang."

Dia bilang apa? Sayang? Dia panggil aku sayang? Lily sayang?

Baik, untuk yang kedua kalinya aku kehilangan kata-kataku di hadapannya. Untuk yang beberapa kalinya sudah dia membuat pipiku memanas.

Wajahku tak memasang ekspresi apa pun, tetapi diam-diam aku tersipu olehnya. Pelafalan sayang-nya terdengar rendah dan berat, terngiang-ngiang di telingaku padahal itu sudah berlalu beberapa detik lalu.

Seseorang tolong sadarkan aku, tolong sadarkan bahwa aku tak boleh menyerah padanya, tolong. Aku tak bisa terus begini, hadirnya telah benar-benar mengusik ruang di hatiku.

Pria ini sangat berbahaya, tolong aku.

"Kenapa diam? Tak perlu gugup, kau sudah cukup dewasa untuk membahas hal seserius ini. Kau pun cukup pintar untuk memulai permainanmu, kau sadar ini akan berakhir seperti apa," katanya lagi sebelum aku sempat membalas.

Ke luar mobil aku kembali memandang, berusaha mengabaikannya meski itu sulit. Sulit bagiku untuk terus menolak keberadaannya.

"Rasanya kurang pantas kau mengungkapkan perasaanmu padaku. Sama sekali tak terdengar tulus, itu lebih terdengar mesum," paparku.

Entah apa yang kukatakan, intinya aku hanya tak ingin menganggap serius ungkapan perasaannya padaku. Kendati di sini, di dalam dadaku, aku berdebar sampai jantungku seolah mendobrak memaksa keluar. Valdos menjadi lelaki pertama yang berani mengungkapkan perasaannya padaku secara langsung begini, sungguh.

Aku masih memandang ke arah luar jendela dan kudengar dia terkekeh.

"Karena aku jauh lebih tua dirimu, jadi kau merasa ungkapan perasaanku adalah sebuah kemesuman? Bagaimana bila yang mengungkapkannya lelaki seusiamu, apa itu terdengar tulus dan romantis?"

Terdiam. Beginikah pria dewasa? Pemikiran mereka terlalu realistis dan mulut mereka selalu blak-blakan tanpa basa-basi.

"Mungkin," balasku singkat. Mengedikkan pundak seolah tak peduli.

"Jangan menjadi gadis yang tidak sopan, Lily. Bicaralah menghadap lawan bicaramu, jangan biasakan menjawab acuh tak acuh sembari mengedikan bahu. Itu tidak sopan."

Aku menahan cengiran di sini, menggigit ujung ibu jariku sendiri agar jangan sampai benar-benar menyengir. Coba kuingat-ingat, satu hari ini berapa kali sudah dia mengingatkanku jangan begini dan jangan begitu? Berkali-kali, katanya ini tidak sopan, itu tidak sopan. Semuanya tidak sopan. Dasar.

"Kenapa kau peduli?" Akhirnya aku menengok, melihat sisi wajahnya.

Dia membalas tatapku. "Aku menyukai perempuan yang sopan dan santun. Jangan belajar menjadi perempuan yang tak memiliki etika baik, aku tidak suka perempuan seperti itu meski wajahnya secantik bidadari."

"Benarkah? Kalau begitu aku akan bersikap buruk di depanmu. Biarlah perasaanmu memudar dan aku tak perlu terjebak lagi bersamamu seperti ini," tuturku dengan penuh percaya diri. Kurasa ini akan berhasil. Kurasa.

"Itu takkan memengaruhi perasaanku, Miss Harlow. Aku tahu kau perempuan yang memiliki etika, dengan berpura-pura tak mempunyai etika takkan membuatku menjauh."

"Kau menyebalkan," semburku masih menatap sisi wajahnya yang fokus melihat ke depan.

Dia menengok menatapku lagi. Senyum menawan nan maskulin tercipta pada bibir penuhnya dan aku tertuju ke situ, kepada bibirnya yang tampak seperti sebuah dosa, nyaman namun terlarang.

OLD MAN : HIS PROPERTYWhere stories live. Discover now