12. Oct, 2019

82 69 6
                                    

Beberapa hari setelah dia mengetahui Liam adalah kakak sepupu dari siswi sekolah menengah yang sama dengannya, dia tidak mempermasalahkan itu. Toh, mereka juga tak pernah saling berkomunikasi.

Kazaro malam ini sedang menginap di kediaman salah satu sohibnya. Dia membuka Istagram, dan melihat akun milik Athalia. Gadis itu, mirip sekali dengan kakak perempuannya.

Ralat, mendiang kakak perempuannya. Tiap kali melihat wajah Lia dia jadi teringat kembali dengan saudarinya yang dua tahun lalu sudah tiada karena sifat ayah mereka yang pemabuk, kasar, dan suka menindas, lalu ibu mereka yang tidak memperdulikan apapun tentang anak-anaknya. Saudari satu-satunya yang Kazaro miliki tiada akibat suatu penyakit yang ia sembunyikan dari adiknya sendiri.

Saat mengetahui kebenaran itu, Kazaro merasa bersalah karena tak memperhatikan kesehatan saudarinya.
Dia menjadi lebih berandal dibanding sebelumnya. Padahal sang kakak sudah melarang dia untuk tidak menjadi pembangkang dan berandalan.

Jari-jari Kazaro secara otomatis menyentuh simbol suka pada postingan Lia. Tanpa menarik kembali apa yang ia lakukan.

“Naksir lo Zar?” ucap si sohib yang tak sengaja melihat ke arah layar smartphone miliknya.

“Cewe sebaik ini gaakan gua taksir,”
karena dia mirip kakak, sambungnya dalam hati.

Malam ini adalah malam yang gelap dan berawan seperti hari-hari Kazaro. Matanya melihat ke arah langit-langit kamar dan tak lama tertidur di sofa yang menurutnya lebih empuk dari kasur di kamarnya.

Lia membuka notifikasi Istagram yang begitu menumpuk, dan ada satu akun yang membuat ia tertarik. Akun itu milik Kazaro, dia tak menyangka beberapa postingannya di sukai oleh sang pujaan hati.

“Lau! Kazaro like postingan gue,” Lia menepuk-nepuk bahu Laurena.

Dia melirik ke arah smartphone Lia dan memang benar, Laurena heran dengan sahabatnya ini, padahal ia sudah memberitahu tentang Kazaro yang sepertinya suka pergi ke bar. Walaupun hanya spekulasi belaka, tapi tak menutup kemungkinan itu benar.


“Lo masih suka dia? Banyak cowo yang lebih baik dan bukan berandal..”

“Tapi dia ga minum apapun disana kan?” Sanggah Lia.

“Ya, tapi ngapain dia disana?”

“Mungkin dia nemenin temennya sama Liam.”

Di tengah pembicaraan mereka, Ny. Tine kembali ke ruang musik setelah mengurus sesuatu dan melanjutkan pembelajaran mereka.

“Dan untuk penutup pelajaran kali ini, saya memilih Laurena Adinata sebagai perwakilan kompetisi seni musik desember depan.”

Mendengarnya Laurena senang sekaligus tak percaya. Sedangkan Lia bertepuk tangan untuknya dan diiringi oleh semua yang ada di sana.

“Gue bilang juga apa, Lau.”
“Pasti lo kepilih!” Ujar Lia dengan nada bersemangat.

Pianis itu kini menghela napas, “tapi itu tingkatkan nasional 'kan? Gue ga yakin.”

“Yang penting percaya diri,” Felix baru saja menyusul mereka saat berjalan di koridor.

“Lo bolos lagi ya Lix?”

“Ofcourse. Gua ga minat sama seni musik.”

“Awas lo udah dicariin sama Ny. Tine.” Ucap Lia sedikit menakuti.

Mereka menuju Lab komputer yang berada di dekat ruang musik. Tampak murid kelas sepuluh baru saja menyelesaikan praktek komputer mereka.

Lia dan Felix lebih dulu masuk, sedangkan Laurena masih melihat segerombolan siswi yang salah satunya ada gadis mungil yang ia temui di perpustakaan sebelumnya.

Gadis itu sadar ada yang memperhatikan jadi dia menoleh, dan Laurena melambaikan tangan. Saat mengetahui siapa itu, langsung saja dia meninggalkan segerombolan teman-temannya tadi.

“Kak! Apa kabar?”

“Baik.”
“Omong-omong, lo yang ngasih kado kotak musik kemarin?”

Terdiam sebentar, lalu mengangguk menandakan tebakan Laurena benar,
“tapi, aku cuma perantara doang kok.”

Laurena mengerutkan dahinya, “perantara?”

“Iya. Ada seseorang yang nitip kado itu. Katanya biar misterius.”

Sedikit tertawa mendengar itu, Laurena menanyakan siapa ‘seseorang’ tersebut tapi malah gadis mungil ini meminta nomor kontaknya.

Tanpa keberatan, Laurena memberikan apa yang ia minta. Setelah itu segera dia masuk ke lab karena ujian praktek akan segera dimulai.

“Ucapin terimakasih ke dia ya.” Sebelum membuka pintu, ia berbalik badan

“Sekalian bilang kalo mau ngasih sesuatu jangan repotin orang lain.”

Gadis itu hanya tersenyum seolah mengerti dan saat jaraknya lumayan jauh, Laurena baru terungat tuk menanyakan nama Sang Perantara Kado, “siapa namamu?”

“Calista Yura! But the nickname is Yura!” Teriaknya.


MEMORIES OF BLUE ROSES [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang