8

19 12 0
                                    

Tiara menghempaskan dirinya ke kasur seperti biasa. Banyak hal yang dia pikirkan hari ini. Dimulai dari tugas-tugasnya yang menumpuk, hingga fakta bahwa ia diburu oleh berbagai pihak. Untung saja, pikirannya tadi sempat terhenti saat Arkan datang dan berbicara.

Dia sangat aneh, tapi sangat menarik, pikir Tiara sambil tersenyum sendiri. 

"Apa gue perlu cari bodyguard, ya? Seandainya gue dibunuh diluar rumah," gumam Tiara. 

Gadis itu mengambil ponsel yang berada di sebelahnya, lalu mulai mencari jasa bodyguard. Namun, niat itu seketika ia urungkan.

Nggak, deh. Bodyguard-nya nggak bisa masuk sekolah. Takutnya, gue malah dibunuh di sekolah, batinnya, lalu kembali melempar ponselnya asal-asalan.

***

"Hai, Ti," sapa Arkan, begitu Tiara membuka pintu kelas dengan pelan.

Lagi-lagi, Tiara datang kepagian. Dia sengaja berangkat sepagi mungkin, karena takut diintai di rumahnya. 

Lebih baik, gue di sekolah daripada di rumah. Seenggaknya, aku bisa bersembunyi di kerumunan siswa, demikian pikir gadis itu

Tiara tersenyum. "Hai juga," balasnya.

Arkan tidak membalas apa-apa lagi. Dia kembali menggambar, seperti biasanya. Tiara menghela nafas. Dia menaruh barang-barangnya diatas meja. Seandainya dia sedang tidak diburu oleh para pembunuh, dia sudah asyik menonton social media atau melacak dan memblokir akun bank orang. 

"Eh, terima kasih karena udah temani gue kemarin," ucap Tiara sambil tersenyum. Memang, keberadaan Arkan saat itu berhasil mengalihkan pikiran-pikiran negatifnya.

"Sama-sama," balas Arkan sambil tersenyum.

Tiara menarik kursi, dan duduk di sebelah Arkan. Niatan untuk mengajaknya berbicara ia urungkan, karena sang lawan bicara sedang fokus menggambar. Sebagai gantinya, mata Tiara menyapu kearah tangan pria itu.

Tangan Arkan yang lentur membuat Tiara terpana. Selain itu, terkadang pria itu menggunakan jari-jemarinya untuk mengarsir. Kedua aksi itu ia lakukan dengan anggun dan luwes.

Gue nggak pernah sangka menonton orang gambar bisa seseru ini, ungkap Tiara dalam hati.

Setelah belasan menit sibuk sendiri, akhirnya gambar itu selesai. Arkan meluruskan tangannya, sementara Tiara hanya menatap Arkan. beserta gambarnya, dengan takjub.

"Tangan lo luwes banget pas lagi menggambar," puji Tiara, yang membuat Arkan salah tingkah sendiri.

"Makasih," jawabnya sambil bergetar. "Maaf karena dari tadi nggak sadar kalau lo ada disini."

"Nggak apa-apa, kok. Lo, 'kan, tadi lagi fokus-fokusnya. Tapi, lihat. Hasilnya jadi bagus banget!" Tiara berkata demikian sambil menunjuk kearah buku sketsa itu.

Arkan turut melirik kearah gambar itu, lalu mengangguk setuju.

Yang Arkan gambar adalah sebuah sketsa seorang gadis berambut pendek serta bergaun putih, yang sedang mencium bunga daisy berwarna gelap. Gambar itu memiliki latar sebuah taman yang dipenuhi oleh dedaunan serta bunga daisy dalam berbagai arsir.

"Kenapa lo gambar begini?" tanya Tiara asal. Arkan menatap Tiara dengan tajam. "Bukan itu maksud gue. Gue penasaran aja. Soalnya, biasanya, cowok itu suka gambar yang gulat-gulat gitu."

"Sebenarnya gue juga nggak tahu," jawab Arkan datar. "Tiba-tiba saja ini muncul di pikiran gue. Dan kebetulan, gue suka bunga daisy. Wanginya harum dan menyegarkan."

Tiara ber-oh. Dia melirik kearah gadis yang ada di foto. Gadis itu memiliki rambut pendek yang diarsir gelap. Gadis itu nampak tenang dan bahagia, tetapi juga sedih dan cemas.

"Mengapa gadis ini cemas?" Gadis itu lagi-lagi bertanya asal.

"Nggak tahu. Tapi, gue sebenarnya berniat untuk membuat gadis ini nampak tenang," jawab Arkan, yang ternyata berbeda dari harapan Tiara.

Tiara hanya ber-oh pelan, lalu memandangi pria yang menggambarnya. Pria itu nampak sama dengan hari-hari sebelumnya. Rambut model curtain bangs, mata hitam pekat, serta kacamata berbingkai tipis. Namun, hari ini dia nampak lebih menawan dari biasanya.

Apa mungkin gara-gara seragam pramuka-nya, ya? Tapi, nggak, ah. Seragam pramuka nggak mungkin merubah aura seseorang dengan drastis.

"Lo ngeliatin apa?" tanya Arkan, yang sontak membuyarkan lamunan Tiara.

"Gambar lo, lah," sahut Tiara asal, sambil menutupi fakta bahwa ia sangat gemetaran.

Dan seketika, suasana diantara mereka lagi-lagi menjadi canggung. Entah apa yang menyebabkan kecanggungan ini kerap muncul diantara mereka berdua. 

Untuk mencegah kecanggungan lagi-lagi terjadi, Tiara mengeluarkan ponselnya dan mencari sesuatu. Arkan yang penasaran juga akhirnya menonton Tiara berselancar.

Tiara mengetikkan sesuatu di kolom pencarian. Setelah menekan tombol cari, mereka berdua akhirnya menemukan jawaban atas apa yang gadis itu cari.

"Kalau menurut flower language, daisy melambangkan kepolosan, awalan yang baru, juga cinta sejati." Tiara membacakan artikel yang ia temukan.

Seketika, mereka berdua terdiam membacanya. Arkan menatap Tiara, sedangkan Tiara berusaha untuk tidak melihat Arkan. 

"Dibawahnya tertulis, daisy itu bunga komposit. Berarti, mereka sebetulnya adalah dua bunga berbeda yang bergabung menjadi satu dalam harmoni," tambah Arkan, menghancurkan kecanggungan diantara mereka.

"Pantas," gumam Tiara pelan.

Arkan menatap Tiara lamat-lamat. Gadis itu memiliki rambut pendek sebahu yang berwarna cokelat gelap. Dia memakai kacamata bulat dengan bingkai yang cukup tipis. Selain itu, gadis itu juga memakai seragam pramuka lengkap (minus kacu) juga rok span yang biasa dipakai oleh murid-murid perempuan. Gadis itu juga memiliki freckles yang menghiasi pipinya. 

Nerd. Itu adalah satu kata yang menggambarkan penampilan Tiara sepenuhnya.

"Lo kenapa?" tanya Tiara, begitu sadar bahwa kini ia ditatap oleh Arkan.

"Nggak. Emang nggak boleh kalau gue ngeliatin lo?" sahut Arkan, yang membuat Tiara terkejut.

"Boleh aja sih ... " balas Tiara pelan.

"Eh, by the way, lo bisa bela diri, nggak?" tanya Tiara asal.

"Bisa. Memang ada apa?" 

Tiara terdiam. Dia terpikir masalah bodyguard itu. Apa lebih baik kalau Arkan aku jadikan bodyguard, ya? pikirnya.

Tapi, kalau begitu gue harus membongkar rahasia gue. Tiara akhirnya mengurungkan pertanyaan itu.

"Jawab gue. Ada apa?" Arkan menuntut penjelasan. 

"Gue pengen belajar bela diri. Gue, 'kan, tinggal sendirian. Biar nanti kalau rumah gue kemasukan maling bisa gue lawan orangnya." Tiara menjawab asal.

Arkan terkekeh. "Entah, lah. Gue nggak bisa mengajar orang dengan baik."

"Ya sudah, nggak-"

"Aduh, siapa, tuh, yang lagi mengobrol berdua?!"

Satu kalimat yang membuat dua remaja itu terdiam.

ARKANTARA I: MUTIARAWhere stories live. Discover now