yours

485 61 13
                                    

🌼🌼🌼

Di sinilah Serra berada. Di antara banyaknya wajah yang mungkin sering wara-wiri di televisi. Di antara orang-orang hebat yang baru pertama kali ia temui.

"Jadi, Serra ini dokter residen di Sanjaya?"

Pertanyaan wanita cantik yang duduk di kursi roda membuat Serra menoleh. Wanita cantik yang mengenalkan diri sebagai Raras Gautama. Ia tersenyum kecil sembari menggeleng.

"Belum, tante. Masih internship."

"Gak usah buru-buru, Serra. Dinikmati aja. Dulu mamanya Aldric juga gak langsung ambil spesialis."

Suara Raka Sanjaya terdengar amat hangat. Membuat Serra mengangguk sopan.

"Arsen gak paksa kamu harus buru-buru, kan?"

Belum terbiasa dengan nama-nama panggilan di dua keluarga ini membuat Serra bingung sesaat. Namun bisikan Aldric membantunya cepat.

"Razka maksudnya."

Wajah Serra kembali menampilkan senyum. "Dokter Razka gak pernah memaksa kami di rumah sakit, Dok."

Neysha mengangguk. "Di luar rumah sakit kamu gak perlu panggil kami dokter, Serra. Temen deket Al biasanya manggil tante. Kamu juga boleh panggil om dan tante. Senyamannya aja."

"Bener."sambung Raka. "Gak usah formal-formal. Semua temen deket Al kami perlakukan sama di keluarga."

Serra tahu bahwa sejak dirinya datang dan dikenalkan oleh Aldric, laki-laki itu tidak menyelipkan status apapun selain namanya. Namun semua orang di meja yang besar dan panjang ini seakan kompak melabeli dirinya sebagai 'teman dekat' laki-laki itu.

Yang entah kenapa justru membuat Serra tidak merasa tertekan namun juga tidak terasa dijauhkan.

"Aku panggil kamu siapa, ya?"

Pertanyaan perempuan cantik disampingnya membuat Serra menoleh. Serra sudah mengenalnya sebagai Adzkiya Rubi Sanjaya. Yang selalu diperhatikan dengan baik oleh seluruh anggota keluarga. Baik dari Sanjaya maupun dari Gautama.

Sekali lihat saja, Serra sudah tahu bahwa perempuan ini yang membuat Aldric rela melakukan apapun. Juga laki-laki yang tak henti memperhatikan setiap detail untuk Adzkiya yang menyebut dirinya tunangannya. Denaka Gautama.

"Eh?"

Kiya terkekeh. "Umurmu lebih muda dariku. Tapi kan kamu temen deketnya Al, keberatan aku panggil kakak, gak?"

Naka tersenyum. Tangannya mengusap sudut bibir Kiya yang menyisakan saos dari daging yang tadi dikunyahnya.

"Panggil nama aja, mbak."timpal Serra dengan senyum sopan.

Kiya tampak shock. Ia menoleh pada tunangannya dengan mata melebar. Lalu mengadu dengan bangga.

"Kiya dipanggil mbak."

Aldric yang duduk di kanan Serra mengulurkan tangan untuk mengetuk dahi adiknya. Lantas mencubit pipinya gemas.

"Gak usah lebay. Kamu tuh emang udah tua."

"Hih."sebal, Kiya balas mencubit tangan Aldric membuat reflek menarik tangan hingga menyenggol bahu Serra.

"Eh maaf."tangan itu lalu mengusap bahunya lembut. "Kiya, nih."

Serra hanya tertawa. Membawa turun tangan Aldric dari bahunya untuk kembali menatap Kiya.

"Jangan panggil mbak. Panggil Kiya aja."ucap Kiya ceria yang dibalas Serra dengan nada sebisa mungkin dibuat mirip.

"Serra, kalau begitu."

Kiya mengangguk penuh senyum. Ia lalu mencodongkan tubuh untuk membisikkan sesuatu.

The Night BeforeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang