us

329 45 17
                                    

🌼🌼🌼

Suara langkah kaki terdengar mendekat membuat Aldric mengangkat kepala untuk menemukan Denaka yang menatapnya khawatir. Bersahabat seumur hidup membuatnya tahu suasana hati laki-laki itu hanya dari ekspresinya.

"Gak usah pasang tampang begitu!"dengusnya.

Naka meringis. Mengumpulkan kertas yang berserakan di meja untuk dikumpulkan jadi satu lantaa menaruhnya di bagian kanan meja. Menutup laptop yang masih terbuka serta merapikan meja tersebut hingga bersih.

Setelahnya Naka berjalan kembali menuju Aldric lantas menunduk didepan laki-laki itu. Menaruh tangannya di dahi sang sahabat.

"Lo demam."

"Hm."

"Mau ke rumah sakit gak?"

Aldric menggeleng. "Gak usah. Ntar gue disikat Arsen."

Mendengar hal itu, Naka kembali meringis.

"Gue telfonin Serra kalo begitu."

Sekali lagi Aldric menggeleng. "Gak usah. Gue tidur dua jam juga abis itu fit lagi."

Berbanding terbalik dengan Adzkiya, Aldric adalah tipe keras kepala yang tidak bisa dibujuk. Jika Kiya keras kepala dengan cara yang manja, Aldric sebaliknya. Namun karena mereka sudah bersahabat bahkan saat belum bisa bicara, Naka tahu cara menghadapinya.

"Yaudah. Pulang sama gue kalo begitu."

Tidak lagi menolak. Aldric bangkit dari sofa untuk duduk sejenak menguatkan tubuhnya sebelum berdiri lalu melangkah mengikuti Naka menuju basement.

Naka menyetir sendiri karena tadi sebelum menghampiri Aldric ke ruangan, ia sudah menyuruh supir dan asistennya pulang terlebih dahulu karena ia tahu bahwa dirinya harus menemani Aldric malam ini.

"Tidur aja. Ntar kalo dah nyampe gue bangunin."

Aldric mengangguk. Matanya langsung terpejam namun pikirannya berkelana kemana-mana. Dan Naka yang tahu kegelisahan itu berdehem pelan menarik perhatian.

"Lo mikirin apa sih?"

Membuka mata, Aldric tersenyum tipis. Lantas menggeleng pelan.

"Gak ada."

"Lo tahu semua kegiatan gue. Lo tahu semua apa yang gue lakuin tiap hari dan tahu gue lagi gak baik-baik aja. Kenapa gue gak boleh tahu soal lo?"

Aldric berdecak. "Kenapa lo jadi cerewet begini sih? Perasaan kemaren-kemaren anteng doang."

"Karena biasanya lo akan cerita tanpa diminta."

Keduanya lantas bungkam bersamaan. Menatap jalanan yang masih ramai oleh kendaraan.

"Lo lagi sibuk sama persiapan pernikahan. Gak mungkin gue nyuri waktu lo dari Kiya juga. Lo ini calon adek ipar gue, tahu."

Naka tersenyum. Ia melirik Aldric sebelum menghela napas.

"Sebelum nambah status jadi tunangan Kiya dan calon adek ipar lo, gue ini masih sahabat lo, Al. Masih bisa lo gangguin kayak biasanya."

Aldric ikut tersenyum. "Tapi wibawa gue anjlok kalo gue cerita."

Seolah tahu kemana arahnya, Naka langsung tertawa. Tidak lagi menahan diri. Menatap Aldric dengan tatapan tak percaya lantas kembali tertawa.

"Gue perlu telfon Dewa, gak?"

"Bangsat, Naka!"

Tawa Naka kembali pecah. Ia menepuk setir dengan geli sembari bergumam, "Akhirnya lo jilat ludah sendiri. Jadi gimana rasanya jadi cinta mati sama seorang perempuan yang umurnya jauh dari lo dan bikin lo ngerasa bakal mati kalo gak liat dia?"

The Night BeforeWhere stories live. Discover now