1

30 4 0
                                    

Mas, kamu tahu nggak, semua harga kebutuhan kita naik semua. Beras, minyak, gas, token, bahkan tahu dan tempe juga ikan asin ikutan naik. Kamu usaha dong kerja lebih keras lagi! Kalo misal hanya jualan buah keliling saja nggak akan cukup. Lihat, mangga yang kamu bawa ke sana ke mari itu bahkan mau busuk!" Omelan Gina membuat Danu hanya bisa mengelus dada setiap pulang bekerja.

Suara Gina menggelegar memenuhi rumah petak yang sengaja mereka sewa itu. Pertengkaran mereka sudah menjadi langganan. Tetangga hanya bisa diam karena tidak bisa memberikan solusi apa pun. Gina hanya ingin semua kebutuhan terpenuhi.

"Ya, kamu sabar dulu. Aku juga udah usaha maksimal." Danu berusaha tenang menanggapi omelan sang istri.

Danu kini berusaha mengambil alih Putri semata wayangnya dari gendongan Gina. Anak mereka berusia satu setengah tahun dan sedang aktif-aktifnya. Gina dulu bekerja di pabrik, tetapi akhirnya memutuskan berhenti bekerja untuk mengasuh anak mereka. Orang tua Gina merasa keberatan jika Putr--anak Gina dititipkan.

"Sabar? Kalo anakmu nangis karena lapar apa masih bisa sabar kamu, Mas? Tolong pakai otak kamu sedikit!" Ucapan kasar Gina sudah tidak terbendung lagi saat ini.

Keuangan mereka saat ini bukan hanya menipis, tetapi sudah sangat minus. Orang tua Danu tidak mau membantu dengan alasan masih ada adik bungsu Danu yang masih sekolah. Suami Gina juga bukan dari kalangan keluarga kaya. Danu berasal dari keluarga ekonomi sulit, sama halnya seperti Gina.

Malam semakin larut, sejak pertengkaran sore tadi, terpaksa Danu harus menahan lapar. Gina hanya menggoreng satu butir telur dan itu pun untuk lauk putri mereka. Entah, Gina makan malam dengan lauk apa, karena nasi juga sudah habis. Danu terbiasa tidak makan malam ketika Gina marah-marah.

"Gin, bisa kita bicara sebentar?" tanya Danu sambil mengguncang tubuh sang istri dengan lembut.

Gina hanya melirik sang suami. Sudah menjadi kebiasaan Gina, ketika marah pasti tidak akan bisa tidur. Terdengar dengan jelas helaan napas panjang yang keluar dari mulut Danu. Danu tampak menatap langit-langit kamar mereka. Hatinya sangat sakit karena tidak bisa memenuhi kebutuhan sang istri.

Pagi datang dengan cepat, Gina sudah bangun dan sibuk berkutat di dapur. Ia membuat tungku dadakan karena gas habis. Beras yang tinggal satu gelas itu dibuatnya menjadi bubur agar bisa untuk makan hingga sore. Tak lupa, Gina menyiapkan telur mata sapi untuk lauk Putri.

"Doakan aku supaya dapat rezeki lebih, ya," kata Danu yang pagi ini sudah siap hendak berjualan keliling.

Akhir-akhir ini, dagangan Danu sepi pembeli. Pembeli yang kebanyakan adalah ibu-ibu lebih memilih mengalokasikan uang belanja mereka untuk keperluan membeli sembako. Maklum, semua harga sedang meroket. Belum lagi, masih banyak kebutuhan untuk anak sekolah.

"Percuma aku doa setiap hari kalo kamu nggak niat jualannya!" Gina membentak sang suami yang saat ini sedang berdiri di depan pintu dapur.

"Gina, kamu bisa nggak jangan kasar sama aku. Suara kamu itu selalu pakai nada tinggi. Ya, aku tahu memang belum bisa ngasih lebih sama kamu. Tapi, aku udah usaha." Danu pagi ini mulai terpancing emosi karena ulah Gina.

"Terserah! Aku nggak peduli lagi! Kalo ada uang, aku akan masak. Kalo nggak, aku hanya akan masak buat Putri. Terserah, kamu mau makan apa. Mau makan angin silakan!" Gina tidak terima mendengar ucapan sang suami.

Hari masih pagi dan pertengkaran dalam rumah Danu sudah terdengar. Kasak-kusuk tetangga bisa terdengar dengan jelas. Danu hanya bisa bersabar saat ini. Ia tidak mau membalas ucapan sang istri.

Saat Gina memutuskan berhenti dari pekerjaannya menjadi buruh pabrik, Danu justru sebaliknya. Ia diberhentikan karena ada pengurangan pegawai. Hal ini jelas menjadi pukulan mereka berdua. Perlahan, tabungan mereka menipis.

Uang tabungan Gina sudah ludes untuk menyambung hidup sehari-hari. Gina merasa sangat tertekan karena kebutuhan hidup harus dipenuhi. Mininal untuk makan saja mereka juga kesulitan. Gina tidak tahu lagi harus bagaimana saat ini.

"Aku berangkat dulu, Gin. Doakan semoga aku ada rezeki," kata Danu yang saat ini menahan segala rasa dalam dada.

Bukan salah Gina jika marah. Danu sadar belum bisa menjadi ayah dan suami yang baik. Gina sudah banyak berjuang sejak mereka menikah. Hanya saja cobaan yang mereka alami sangat luar biasa.

Tiga puluh menit setelah Danu berangkat, Gina mendengar suara Putri merintih. Ia pun segera mematikan kompor dan menuju ke kamar. Gina dengan cepat menggapai sang putri. Nahas, tubuh mungil Putri demam tinggi.

"Ya, Allah, kamu demam, Nak." Gina kini meneteskan air mata.

Tidak ada uang sama sekali yang dipegangnya. Putri sudah mengompol dan harus diganti diapers-nya. Sisa satu buah diapres dan itu membuat Gina harus menahan rasa sesak luar biasa. Tanpa pikir panjang, Gina menggendong sang putri setelah diganti diapers-nya dan pergi menuju ke rumah salah satu tetangga.

"Permisi, Bu Salma," kata Gina sambil mengetuk pintu rumah salah satu tetangga kontrakannya.

"Ada apa, Mbak Gina? Lho? Ini Putri kenapa?" tanya Salma yang sudah siap hendak berangkat kerja di pabrik.

"Bu, saya boleh pinjam uang? Saya mau bawa Putri ke puskesmas. Anak saya demam," kata Gina yang kini menahan air matanya.

"Sebentar,"  Salma menjawab sambil merogoh tas dan mengambil dua lembar uang kertas berwarna merah. "Ini, Mbak Gina bisa pakai uang saya. Nanti kembalikan ketika sudah punya uang," lanjut Salma sambil tersenyum lebar.

"Terima kasih, Bu Salma. Saya pasti akan kembalikan secepatnya." Gina tidak bisa menahan rasa haru.

Hanya Salma yang masih mau meminjami uang atau memberikan makanan ketika kekurangan. Wanita berusia tiga puluh delapan tahun itu hidup seorang diri. Suaminya pergi bersama dengan wanita lain. Salma juga belum punya anak.

"Sama-sama, Mbak Gina. Gimana kalo ke puskesmasnya bareng saja. Kita searah kok?" tawar Salma yang saat ini mengangsurkan helm pada Gina.

Gina mengerjab beberapa kali karena menerima kebaikan Salma. Sungguh wanita di depannya itu seperti malaikat penolong bagi Gina. Tangan Gina meraih dengan cepat helm yang diberikan oleh Salma. Salma sadar, Gina tidak membawa selimut untuk menutupi tubuh mungil Putri.

"Sebentar, Mbak." Salma kembali membuka pintu rumah dan mengambil selimut kecil. "Pakai ini, biar Putri nggak makin demam," lanjutnya sambil memberikan selimut berwarna biru muda itu.

"Terima kasih, Bu Salma." Gina langsung memasang selimut itu pada sekujur tubuh Putri.

Salma pun melajukan motor menuju ke puskesmas. Gina harus mengantre dan Putri sangat rewel. Gina bahkan belum memberikan sarapan untuk anak perempuannya. Ia hanya fokus harus segera ke puskesmas.

"Udah sarapan belum anaknya?" Putri menggeleng saat ada salah satu orang tua pasien anak yang bertanya. "Ya, kasih sarapan dululah, lapar itu anaknya. Lagian, antrean kamu masih lama," lanjutnya dengan ketus.

Di KBMAPPS UDAH BAB 3 OTEWE 4

Rujuk; Harga Diri yang TergadaiWhere stories live. Discover now