6

20 4 0
                                    

Gina mengembuskan napas perlahan. Rasa sesak di dada itu nyata adanya. Gina melirik ke arah sang suami yang kini sibuk menyuapi Putri. Sial! Pemandangan itu nyatanya membuat hati Gina luluh.

"Aku sama sekali nggak ada uang buat ke puskesmas. Nggak mungkin aku jalan kaki ke puskesmas sementara Putri demam tinggi." Gina menjawab dengan nada datar.

"Lain kali, kamu bisa hubungi aku. Aku akan kasih kok uang buat kamu," jawab Danu enteng seolah menjadi suami yang sangat baik.

Jika tidak diminta oleh Gina, Danu tidak akan mengeluarkan uang. Uang modal dan laba untuk mengembangkan dagangannya. Faktanya, justru Danu sering mengalami kerugian yang luar biasa. Entah mangga-mangga itu busuk, salah memberikan kembalian, atau banyak lagi yang lain.

Gina kali ini membersihkan tubuhnya dan segera berganti pakaian. Selesai semua itu, Gina segera ke ruang tamu. Danu dan Putri tidak ada di sana. Samar-samar, terdengar seperti Danu sedang mengobrol dengan seseorang.

"Ya, aku nggak marahlah. Biar gimana pun Gina juga istriku." 

Entah mengobrol dengan siapa, Danu tampak sangat bahagia sambil menggendong Putri. Obrolan itu seperti keduanya sangat akrab. Gina tidak berpikir negatif tentang sang suami. Ia pun segera mendekat ke arah Danu.

Melihat keberadaan Gina, mendadak Danu terkejut. Ia mematikan sambungan telepon itu. Bukan sambungan telepon, rupanya mereka sedang melakukan video call. Gina hanya melirik sekilas dan membuat Danu canggung.

"Ck! Kuota malah habis. Padahal lagi seru mengobrolnya." Danu berusaha sangat tenang saat ini. "Ini lumayan 'kan kalo sesama pedagang buah keliling bisa saling kerja sama?" tanya Danu pada Gina yang saat ini menggendong Putri dengan kain jarik.

"Putri udah minum obat?" tanya Gina tidak merespons ucapan sang suami.

"Be-belum. Aku nggak tahu obatnya kamu simpan di mana." Danu gugup saat melihat wajah datar sang istri.

Danu takut jika Gina mendengar obrolan mereka berdua lagi. Gina bukan wanita bodoh; instingnya selalu tepat. Danu tidak mau hubungannya dengan seorang wanita yang baru saja dimulai akan kandas. Ia masih butuh uang dari wanita itu.

Hanya sekadar iseng tidak sampai tidur layaknya suami dan istri. Gina tentu tidak akan curiga. Toh, mereka hanya akan ketemu saat pagi dan sore saja. Salma--wanita penggoda itu yang diam-diam berani bermain api dengan Gina.

"Putri bobok dulu, ya," kata Gina setelah meminumkan obat pada sang anak.

Gina terbiasa menggendong anak perempuannya hingga tertidur. Sejak Putri lahir, memang seperti itu cara menidurkannya. Gina tidak merasa lelah atau bagaimana. Sebab, salah satu dari pengorbanan dan perjuangan seorang ibu.

"Bu, tadi, Apak, telepon sama Ante Alma," kata Putri berceloteh dengan logat cadelnya.

Gina sedikit tidak paham apa yang diucapkan sang putri. Putri sudah setengah mengantuk. Gina tidak berpikir jika itu adalah Salma. Istri Danu itu tidak mau berpikir buruk tentang sang suami.

"Iya, 'kan Bapak kerjanya jualan, jadi mungkin ada yang pesan. Doakan saja, Bapak dapat rezeki, jadi kita bisa makan setiap hari." Hanya itu harapan Gina saat ini.

Danu sedikit terenyuh mendengar obrolan sang istri dan anak mereka. Ia merasa sangat bersalah. Danu berjanji dalam hati, tidak akan memakai perasaannya saat menjalani hubungan terlarang dengan Salma. Danu hanya butuh uang dari Salma saja. 

Pagi kembali datang, kali ini ada pemandangan yang sedikit membuat Gina terharu. Danu sibuk menyiapkan sarapan. Entah pukul berapa laki-laki itu bangun. Gina mendekat ke arah sang suami.

"Tumben kamu mau tahu urusan dapur, Mas?" tanya Gina yang lebih tepatnya adalah sebuah sindiran.

"Aku liat kamu kecapekan. Aku sudah lapar dan harus cepat berangkat jualan. Aku sudah panaskan sisa sayur dan lauk kemarin. Nasi juga sudah matang. Aku mau berangkat dulu." Danu berpamitan pada sang istri. "Berangkat pagi lebih baik, siapa tahu bisa dapat rezeki lebih," lanjut Danu dan membuat Gina terkejut.

Saat ini bahkan masih pukul lima pagi. Danu biasa berangkat pukul tujuh atau paling lambat pukul sembilan. Aneh? Entah, Gina tidak bisa menyimpulkan sepihak.

"Hati-hati, semoga dimudahkan rezekinya," doa Gina dengan tulus sambil menyunggingkan senyum manis.

Danu membalas senyum itu dan merasa sangat bersalah saat ini. Haruskah permainan ini dilanjutkan? Meski tidak lagi bekerja, tetapi Gina adalah wanita dan istri baik. Ia tidak pernah membuat masalah dengan siapa pun.

Danu meninggalkan rumah kontrakan dengan tergesa-gesa. Ia ada janji dengan Salma untuk sarapan bersama. Entah siapa yang bodoh; Salma butuh pendamping dan Danu butuh sokongan dana. 

"Kamu baru datang, Sayang?" tanya Salma sambil bergelanyut manja pada lengan Danu tanpa rasa malu sedikit pun.

"Sal, jangan terlalu kelihatan. Aku nggak mau ada orang yang tahu." Danu merasa risih ketika Salma bergelanyut manja pada lengan kekarnya itu. "Ayo kita sarapan dan aku langsung berangkat. Kamu bukannya harus kerja juga?" tanya Danu berusaha mengalihkan obrolan itu.

"Aku sih masa bodo kalo ada yang liat. Kita bukannya udah sepakat beberapa waktu yang lalu? Kita pacaran," kata Salma dengab manja seolah baru mengenal cinta.

Jatuh cinta itu anugrah jika tepat sasaran. Kali ini Salma sama sekali tidak berpikir jauh jika Danu sudah berkeluarga. Sudah satu tahun terakhir ini, Salma memang jatuh cinta pada Danu. Pesona ketampanan Danu tidak bisa dipungkiri meski Salma lebih tua delapan tahun dari Danu.

"Iya, memang kita sudah sepakat. Hanya saja, aku nggak mau jadi bahan gunjingan. Aku juga nggak mau Gina tahu. Ingat, aku punya anak dan istri." Danu kembali mengingatkan tentang batasan hubungan mereka.

Salma hanya diam dan merasa sakit. Begitulah jika memutuskan menjadi yang kedua alias pelakor, harus mau dinomor duakan. Danu pasti akan mengutamakan istri dan anaknya. Seharusnya sejak awal Salma sadar dengan keberadaanya.

"Aku tahu dan sadar kalo soal itu, Sayang. Hanya saja, bisakah kamu bersikap adil? Kamu sudah semalam bersama Gina. Lantas waktu untukku kapan?" tanya Salma sedikit merajuk.

"Kamu tenanglah. Aku tiap pagi dan pulang jualan keliling pasti akan bersama kamu. Aku akan cari alasan untuk Gina jika pulang telat." Danu menoel dagu Salma dan membuat wanita itu tersenyum.

Salma sudah masak banyak makanan. Ada semur daging sapi dan tumis daun pepaya. Diam-diam, Salma tahu makanan kesukaan Danu. Entah benar atau tidak, tetapi Danu lebih suka dengan sayur yang berkuah.

"Ini kamu semua yang masak?" Danu menikmati setiap suapan makanan yang masuk. "Ini sangat lezat dan rasanya pengen nambah terus," lanjut Danu yang kembali mengambil nasi.

"Makanlah yang banyak. Ini aku masak semua. Kebetulan kemarin belanja dan beli semua ini," kata Salma dengan manja.

Suara ketukan pintu dengan sangat keras mengejutkan Danu dan Salma. Suara bariton disertai gedoran pintu yang luar biasa keras itu membuat Salma panik. Ada Danu di rumah kontrakan itu. Tentu akan menjadi masalah jika ada yang memergoki mereka berdua. 


Rujuk; Harga Diri yang TergadaiOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz