7.

10K 1.3K 109
                                    

Erkan memantapkan hati. Menarik nafas lalu dia hembuskan secara perlahan berkali-kali. Sebelum membuka pintu, menguatkan diri sendiri untuk bisa menerima ataupun mendengarkan drama apa lagi yang harus di lewatkan pagi hari ini.

Setelahnya, menggapai gagang pintu dan keluar dari kamar. Wajahnya ia buat se normal mungkin. Tentu setelah tadi malam, akan ada kejadian yang lain. Erkan tau betul ini. Tadi malam setelah dia pergi, cekcok terus berlanjut berujung Andra pergi. Lalu pagi ini, Andra akan pulang.

Scene ini sudah tercatat rapi, tertera dan terlaksana di bab 'My Story' itulah sebab mengapa Erkan menyiapkan diri dan memantapkan hati, karena akan ada ponsel terbang ke arahnya. Itu pun kalo masih sesuai dengan cerita.

Erkan berjalan ke arah meja makan. Disana sudah terisi beberapa orang, minus Ain beserta ke empat putrinya. Dia mendekat dan menyapa.

"Pagi."

Semuanya menjawab masing-masing. Erkan duduk dan langsung mengambil apa saja yang akan dia makan. Di sebelahnya Hans tersenyum. " Padahal ini masih pagi, tapi kau sudah terlihat depresi Bian."

Erkan hanya melirik tanpa mau menjawab. Jika di teruskan, dia akan semakin terlihat konyol seperti yang sudah-sudah.

"Bang Bian."

Erkan pun menatap Deon, pemuda itu memanggil dirinya.

"Abang punya tanaman pohon gabus ga?" tanya Deon.

Erkan berpikir sejenak lalu mengangguk, sepertinya dia punya dua lahan untuk penanaman pohon gabus. "Ada."

Deon terlihat sumringah. "Boleh minta ga bang? Ada tugas sekolah yang mengharuskan membawa ranting pohon gabus." Nada pemuda itu sedikit mengeluh.

"Kenapa ga bilang ke mama sayang?" Naura ber celetuk. Deon ganya terkekeh simpul.

"Hehe, lupa ma. Baru ingat tadi setelah bang Bian datang hehe." Mengangkat tangan membentuk V.

Naura hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan anaknya itu.

"Ngomong-ngomong kapan Seyra pulang ma?"

"Adikmu itu masih menikmati masa liburnya. Nanti kalo bosan, pasti merengek minta pulang."

Meja makan kali ini terasa hidup. Erkan makan dengan tenang. Keluarga yang lain pun terlihat menikmati sarapannya. Erkan lega sejenak. Meski akan ada badai yang menerpa. Tapi tak apa lah, nikmati saja dulu.

"Andra belum datang Galen?" Galen terlihat menggeleng.

Erkan melebarkan telinganya, merasa tertarik dengan topik ini. Oh astaga, dirinya menjadi seperti ibu-ibu yang kepo kepada masalah tetangga.

"Tidak mencoba mencarinya? Atau setidaknya hubungi dia mas?" Naura menyarankan.

"Aku menyuruh seseorang untuk mengawasinya." Naura mengangguk mengerti.

"Harusnya hari ini dia pulang. Seseorang mengatakan jika dia sudah dalam perjalanan pulang."

Oh, apakah sebentar lagi, kepalanya akan menjadi sasaran empuk ponsel. Semoga saja dia bisa mengelak, atau setidaknya.. Lemparan itu nyasar ke kepala Galen.

Entah bagai sihir atau apapun itu, pintu mansion utama terbuka menampilkan Andra yang berjalan masuk. Wajahnya tertekuk bagai selimut habis dibuat rebahan.

Niat hati Andra ingin segera menuju kamarnya tapi dihentikan dengan pertanyaan dari Galen. "Dari mana saja Andra?"

Sebenarnya Galen tau dari mana saja putra bungsunya itu pergi tapi ia ingin tau langsung dari bilah bibir Andra. Dengusan lelah terdengar dari Andra membuat dahi Galen berkerut dibuatnya.

"Ayah tanya Andra! Dari mana saja kamu!" Nada Galen terdengar meninggi membuat suasana di ruang makan senyap seketika.

"Hanya berjalan-jalan, tak kurang dan tak lebih."

Galen menunjukan raut tak puas dengan jawaban Andra. Kenapa anak bungsunya ini begitu tak sopan? Apakan semua yang ia berikan itu kurang hingga membuat Andra bertindak kurang ajar?

"Bersama siapa?"

Lagi Galen bertanya dan wajah Andra semakin kusut dibuatnya. "Apaan sih, Yah! Dari tadi nanya-nanya mulu!" Kaki Andra menghentak lantai dengan keras, tangannya bersedekap. "Lo pembawa sial, lo bicarain aneh-aneh tentang gue, ya!" kesal Andra menunjuk Bian.

Erkan mengernyit alis, menoleh ke kanan kiri siapa tau Andra berbicara dengan orang lain. Ketika tidak menemukan siapa yang di maksud, Erkan menunjuk dirinya sendiri.

Galen semakin naik darah. "Ayah tanya sama kamu! Kenapa malah menyalahkan kakakmu!"

Andra pun kesal sendiri, baru datang dia di marahi. "Kan Andra sudah jawab! Kenapa ayah masih saja bertanya! Mengadu apa dia sama ayah? Hal buruk kan?" Tudingnya. Melirik sinis Erkan yang berwajah bingung.

"Andra ga akan melakukan hal ga jelas. Ga bakal mabuk-mabukan, ga bakal nyabu, ga bakal ke club. Andra cuma main ke rumah teman Andra. Kenapa ayah bertanya seolah menuntut? Atau dia memang mengadu hal yang ga jelas ke ayah?!!" urat di lehernya menandakan betapa marahnya Andra.

Naya yang kesal pun maju. "Kenapa kau harus terus menerus menuduh Bian. Bian saja tidak keluar dari semalam dan mengatakan omong kosong yang kamu maksud!"

"Sadar Andra! Kau selalu menuduh kakakmu buruk! Tidaklah ada rasa bersalah karena terus menuduh Bian?!" Suara Naya terdengar bergetar karena kesal berlebih. Napas wanita paruh baya itu juga terlihat terengah.

"Nenek juga selalu membelanya! Apa bagusnya anak angkat seperti dia!" Andra berteriak marah. Lalu mengambil ponsel dan melemparnya tepat pada kepala Erkan sesuai dugaan lelaki itu.

Darah menetes dari kepala Erkan yang terkena lemparan ponsel Andra. Semua bergeming menatap Erkan dan Andra bergantian dengan tatapan terkejut.

Perlahan menyentuh kepalanya yang masih saja mengeluarkan darah, Erkan merintih. "Ah, sakit ..."

Rintihan yang terdengar telat begitu pula dengan respons lainnya, membuat semuanya panik. "Woi, panggil bomba!" Hans berseru panik saat orang sebelahnya tertimpuk ponsel milik Andra.

Pusing mendera tapi Erkan tetap ingin mempertahankan kesadarannya. Mendengar Hans yang ingin dirinya dipanggilkan bomba alias pemadam kebakaran membuat Erkan mau tak mau menjitak manusia itu. Sialan, dia hanya tertimpuk ponsel bukan gajah.

Tapi herannya, dia hanya di lempar ponsel. Tetapi pusingnya bikin main. Astaga, kenapa dia ga sat set sih. Kalau saja dia bisa menghindar, mungkin dia tak akan menerima ini.

"Bian, kau tak apa? Mau minum paramex?"

Okey, Hans semakin ngawur, maka dengan senang hati, Erkan menjambak rambut Hans. Bodo amat sama harga diri, lagian dia kan lagi sakit, jadi bisa ditoleransi. Lagian siapa suruh Hans begitu menyebalkan.

Padahal Hans merupakan karakter yang berwibawa dan adil. Tapi yang ada disini malah konyol.

Jambakan Erkan melemah, pandangannya memburam dikarenakan darah yang terus aja mengalir tanpa henti dan membuatnya kehilangan darah.

Yah, entahlah banyak atau tidaknya darah keluar dari kepalanya tapi ingatkan dirinya kalau setelah ini ia harus minum pil tambah darah.

Naya panik bukan main, ia mendekat dan melepaskan jambakan Erkan pada Hans dengan cara menampar Hans. "Gerald, panggil dokter!" suruhnya pada sang suami yang segera dilakukan.

Andra hanya diam menyaksikan kepanikan keluarganya terhadap Erkan yang terluka. Tangannya terkepal erat sebagai bentuk pelampiasan lain, tak peduli jika telapak tangannya telah berdarah akibat kukunya sendiri.

Jika dirinya sakit lebih parah dari pada si pembawa sial, apakah semua orang di keluarganya akan memperhatikannya?

Angan hanyalah angan karena ia kini disadarkan dengan tamparan yang terasa begitu panas di pipinya. Pelakunya adalah Galen, ayahnya.





Tbc.


Part kali ini, di bantu oleh dedek gemes YohanArraska

Anak AngkatWhere stories live. Discover now